Sabtu, 25 Juni 2011

You're Mine #3rd


Senyum dan keceriaan terpancar dari wajah siswa SMA Kusuma Bangsa –sekolah Cakka-, semua sudah bersiap di halaman sekolah, terlihat beberapa bus bertuliskan “Camping ‘Who Am I?’ SMA Kusuma Bangsa” yang siap mengantarkan mereka menuju tempat camping. Semua sudah berkumpul di depan bus, bersiap untuk masuk. System tempat duduknya ditentukan oleh guru, dan itu cewek-cowok. Tidak ada penolakan, harus bersiap menerima dengan siapapun teman duduk mereka selama kurang lebih 2,5 jam kemudian. Para murid yang dipanggil namanya sudah memasuki bus, mencari tempat duduk. Terdengar berbagai macam komentar mereka setelah mengetahui siapa yang menjadi teman sebangku mereka. Begitupun dengan tiga sekawan ini, terlihat jelas mereka kurang ‘ngeh’ dengan teman sebangku mereka, apalagi Ray yang harus duduk dengan Shilla, sahabat Agni. Entah mengapa mereka tidak pernah bisa akur, Cakka dengan Ify –kapten basket putri-, dan Alvin sendiri dengan… Agni. Cakka agak tersentak melihatnya, ada perasaan aneh dalam dirinya ketika melihat itu, tapi sekuat tenaga Cakka mencoba meredamnya.

Diperjalanan, semua murid asyik dengan kegiatan mereka sendiri. Ngobrol, tidur bahkan bernyanyi, mencoba mengusir rasa penat selama diperjalanan. Terlihat dibelakang Cakka, Ray dan Shilla meributkan sesuatu, sepertinya meributkan makanan, terlihat Shilla yang sibuk menyembunyikan snacknya dari Ray yang berusaha mengambilnya sedangkan disebelah kanannya terlihat Alvin dan Agni, Alvin yang asyik dengan I-pod dan komiknya dan Agni… sedang apa dia? Tertidur? Tapi sepertinya tidak, karena Agni terlihat bergerak-gerak gelisah, mencoba mencari posisi nyaman, tapi… keringat dingin mengalir dipelipisnya, wajahnya sedikit pucat, tangannya kiri memegangi perut dan tangan kanannya menutup mulutnya, seperti orang ingin muntah. Apa Agni mabuk kendaraan? Tapi itu tidak mungkin, karena setiap hari Agni ke sekolah menggunakan mobil. Cakka menatap sekeliling mereka, semua sibuk dengan kegiatan mereka sendiri, sepertinya tidak ada yang menyadari keadaan ‘aneh’ Agni. Cakka berdiri, membuat Ray dan Shilla seketika menghentikan pertengkaran mereka, Ify sendiri yang duduk disamping Cakka, mengernyitkan dahi, heran mengapa Cakka tiba-tiba berdiri padahal bus masih jalan. Cakka mengacuhkan pandangan aneh teman-temannya, ia mendekati bangku Alvin-Agni. Ia menepuk bahu Alvin, mencoba ‘menyadarkan’nya. Alvin melepas earphonenya menatap Cakka yang berdiri disampingnya seolah bertanya ‘Ada apa?’, Cakka menunjuk Agni dengan dagunya, Alvin ikut menoleh, sedikit tersentak dengan keadaan Agni. Masih sama seperti yang tadi Cakka lihat, malah sekarang terlihat lebih pucat. Alvin menatap Cakka, Cakka mengerti dan menggantikan posisi Alvin. Cakka mencoba membangunkan Agni, dingin, badan Agni terasa dingin dikulit tangan Cakka, wajar saja ia terlihat menggigil.

“Ag, bangun…” Cakka menepuk pipi Agni perlahan, mencoba membangunkannya, tapi Agni masih pada posisi semula, bergerak gelisah dan matanya pun masih tertutup. Cakka cemas melihatnya, “Hei Ag, lo ngga apa-apa kan?” Cakka agak keras menepuk pipi Agni, tapi nihil. Agni masih seperti itu, Cakka semakin gelagapan.

“Agni !!! lo kenapa?” terdengar suara teriakan Shilla, membuat semua yang berada di dalam bus menatap kearah mereka, Shilla mendekat kearah Cakka dan Agni, mencoba menggantikan posisi Cakka, Cakka mundur, membiarkan Shilla mencoba membangunkan Agni. “Ag, Agni… lo bangun dong. Jangan buat gue takut” mata Shilla mulai berkaca-kaca, tangannya agak bergetar ketika menepuk pipi Agni barusan.

Terlihat Ms. Angel dan Pak Johny mendekat kearah mereka, memang di dalam tiap bus ada guru pengawas sekitar dua orang dan bus ini diawasi oleh Ms. Angel dan pak Johny. Ms. Angel juga terlihat cemas, melihat kondisi Agni tapi ia berusaha melakukan pertolongan pertama. Ms. Angel mendekatkan minyak kayu putih dihidung Agni, berharap dengan itu bisa menyadarkan Agni, Shilla masih mencoba menyadarkan Agni dengan menepuk pipi Agni. Cukup lama, akhirnya Agni mulai mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba melihat lebih jelas. Ia sedikit bingung, kenapa banyak orang?, batinnya heran. Shilla yang melihat Agni sadar, tanpa sadar memeluknya terlalu erat, Agni sedikit kesulitan bernapas. Agni menatap orang disekitarnya penuh tanya.

“Shill, udah woy. Kasian Agni, baru sadar udah lo peluk erat gitu. Yang ada dia pingsan lagi” celetuk Ray melihat Agni sedikit kesusahan bernapas, Shilla menatapnya garang, melepas pelukannya melihat keadaan Agni, ternyata benar. Pelukannya terlalu kuat, Agni sekarang agak terengah, Shilla nyengir.

“Gue kenapa? Kok kalian pada disini sih” tanya Agni, masih heran dengan keadaan disekitarnya, ramai. Mereka saling berpandangan, bingung. Apa Agni tidak menyadari bagaimana keadaannya barusan? Apa Agni amnesia?, batin mereka bertanya. Shilla mengernyit, menatap Agni heran.

“Lo tadi pucet, keringet dingin Ag, trus gerak-gerak gelisah gitu. Mana lo kaya’ mau muntah lagi” terang Shilla, masih menatap Agni heran. Agni menatap Shilla heran, memang ia merasa sedikit mual, tapi apa sampai sebegitunya? Batin Agni, heran sendiri dengan keadaannya.

“Yasudah, semua kembali ke tempat duduk masing-masing” perintah Ms. Angel.

Semua murid yang tadi memenuhi tempat duduk Agni semua kembali ketempat mereka, melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda. Tinggal Cakka, ia masih berdiri disebelah tempat duduk Alvin-Agni, ia menatap Agni dengan tatapan yang… ia sendiri tidak tau apa artinya. Cakka seperti sedang meyakinkan dirinya tentang perasaannya pada gadis manis itu. Alvin sepertinya menyadari sesuatu, ia berdiri, menepuk bahu Cakka perlahan, membuat Cakka sedikit tersentak.

“Lo disini aja Kka, gue ditempat lo” tanpa menunggu jawaban Cakka, Alvin langsung melangkahkan kakinya menuju tempat duduk Cakka, disamping Ify.

Cakka menatap Alvin yang sudah ‘bertengger’ dibangkunya semula, terlihat Alvin sudah larut dalam kegiatannya, I-pod dan komik ditangannya. Cakka mengalihkan pandangannya menuju Agni, gadis itu terlihat memejamkan matanya, kepalanya tersender dikaca jendela bus. Cakka sedikit tidak tega melihatnya, tapi ia juga tidak berani mengganggu istirahat Agni, wajah Agni yang tadi pucat sudah sedikit lebih baik. Cakka duduk ditempat yang tadi diduduki Alvin, menatap Agni, dalam dan lama. Lagi-lagi, gadis ini membuatnya tidak berkutik, terdiam, terpana, terfokus hanya padanya. Benar-benar seperti magnet.

***
Pemandangan indah terbentang indah didepan mata, rumah-rumah penduduk, ternak yang dibiarkan berkeliaran di padang rumput, kebun-kebun dan sawah yang membentang luas seiring mata memandang, menambah keindahan ciptaan-Nya. Sepertinya camping kali ini akan sangat berkesan, semua terlihat sibuk, ada yang mendirikan tenda, menyiapkan makan malam dan berbagai keperluan lainnya. Capek, terlihat jelas dari raut muka para siswa Kusuma Bangsa. Tapi disana juga terpancar kegembiraan yang terpendam.

Semuanya sudah berkumpul, hari pertama mereka tiba belum melakukan apapun, kegiatan rencananya baru dilaksanakan besok. Sekarang mereka menikmati suasana malam, sejuk dan nyaman. Sepertinya mereka tidak salah tempat, beberapa murid terlihat mengeluarkan alat-alat music, tapi bukan alat music yang ada di studio band, tapi alat-alat music akustik dan ala kadarnya. Beberapa diantaranya sudah bersiap didepan ‘alat musik’ mereka. Cakka terlihat tidak ingin kehilangan moment, Cakka sudah siap dengan gitarnya, Cakka mulai memetik senar gitarnya, terdengar alunan gitar Cakka memulai penampilannya malam itu.

Everytime I think I'm closer to the heart
Of what it means to know just who I am
I think I've finally found a better place to start
But no one ever seems to understand

(PreChorus)
I need to try to get to where you are
Could it be your not that far

{Chorus}
Your the voice I hear inside my head
The reason that I'm singing
I need to find you
I gotta find you
Your the missing piece I need
The song inside of me
I need to find you
I gotta find you (Oh YEAH)

YEAH, YEAH

Your the remedy I'm searching hard to find
To fix the puzzle that I see inside
Painting all my dreams
The color of your smile
When I find you
It will be alright

back to(PreChorus)
{Chorus}

Been feeling lost can't find the words to say
Spending all my time stuck in yesterday
Where your are is where I wanna be
Oh next to you
You next to me
Oh

I need to find you
YEAH,

{Chorus}
{Chorus}
I gotta find you

Penampilan Cakka ditutup dengan tepuk tangan dari siswa lain, mereka menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang kagum, cengo’, dan bahkan juga ada yang mencibir. Cakka hanya membalasnya dengan senyum, tidak terlalu memikirkan reaksi mereka. Yang penting baginya, apa yang ada dihatinya sudah ia salurkan, dan tentu saja melalui lagu barusan. ‘I gotta find you’, apakah benar Cakka akan menemukannya?, ia sendiri tidak yakin. Biarlah waktu yang menjawab.

***
Lelah. Semua murid kembali ke perkemahan, seharian ini mereka turun langsung membantu penduduk sekitar mengerjakan apa-apa yang penduduk lakukan sehari-hari, seperti di acara salah satu stasiun televisi swasta Indonesia, tapi disini bedanya mereka melakukannya dengan kelompok. Kelompok terdiri dari dua orang, dan itu dilihat dengan siapa mereka duduk ketika dibus kemarin. Penolakan pertama tentu saja diajukan oleh Ray dan Shilla, entah mengapa mereka sangat susah untuk bekerja sama, padahal jika dilihat dari ‘sejarah’ mereka selama bersekolah di Kusuma Bangsa, mereka tidak pernah bertengkar, jangankan bertengkar, dekat saja tidak. Mungkin hanya sebatas kenal, itupun dari orang lain, maka dari itu siswa Kusuma Bangsa agak heran dengan pertengkaran ‘dadakan’ antara Ray dan Shilla. Agni yang notabenenya sahabat baik Shilla pun bingung, mengapa Ray dan Shilla tidak bisa akur. Jangankan Agni. Alvin dan Cakka pun dibuat heran, tumben-tumbenan Ray terlihat bergitu antusias bertengkar dengan seseorang, biasanya diantara mereka bertiga Ray yang paling tidak ingin mencari masalah, terkesan menghindari terjadinya masalah daripada nantinya disibukkan dengan masalah itu. Tapi dengan Shilla? Ray terlihat amat ingin mencari masalah, ada apa dengan Ray? Apakah Ray sudah berubah?, pikir Alvin dan Cakka. Mungkin, yang tau jawabannya hanya Ray.

***
Gadis manis ini tertawa lepas, seakan melepaskan semua beban yang ada dipundaknya. Tingkah konyol kedua temannya benar-benar membuatnya tertawa begitu lepas, membuatnya semakin manis dan… menggemaskan !. Ternyata, jika tertawa lepas seperti itu ia semakin terlihat ‘wah’, wajahnya yang manis semakin membuat orang ingin menatapnya lebih lama, dan kali ini ia tertawa, gadis itu tertawa. Sesuatu hal yang jarang ia perlihatkan langsung, selama ini gadis itu hanya mengeluarkan senyum tipisnya jika ada sesuatu hal yang lucu. Tiba-tiba gadis manis itu berhenti tertawa, padahal kedua temannya itu masih menunjukkan tingkah lucunya, wajahnya kini terlihat pucat dan keringat dingin terlihat mengaliri pelipisnya. Sebelah tangannya menutup mulutnya, sepertinya ia sedikit mual, tubuhnya agak limbung, tapi ia masih berusaha mengumpulkan kesadarannya, dan bertumpu pada meja tempat makanan disebelahnya. Memang tadi ia sedang berada di meja makanan, berniat untuk mengambil makan malamnya. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyadarkan dirinya lagi. Perlahan namun pasti, sepertinya ia sudah kembali seperti semula, walaupun wajahnya masih terlihat pucat tapi ia sudah tidak lagi menutupi mulutnya dan sudah mulai menyeka keringat dinginnya. Gadis manis ini hanya menggeleng dan tersenyum tipis ketika temannya terlihat mengkhawatirannya, tapi ada yang aneh dari senyum itu. Senyum itu menyimpan sesuatu, seperti kepedihan dan diPAKSAkan!.

***
Cakka mengernyit heran, ada yang berbeda darinya. Senyum yang biasa terlihat tulus dan manis kini berubah, memang tetap manis tapi dipaksakan. Cakka menyadarinya, ada apa dengan gadisnya itu?, pikirnya. Tapi tunggu, gadisnya? Sejak kapan gadis manis itu menjadi ‘gadisnya’?, Cakka menggelengkan kepalanya. Apa yang ada dipikirannya saat ini? sampai-sampai ia berani berpikir bahwa gadis manis itu adalah gadisnya, ia pasti sudah gila. Apa itu tanda seseorang merasa kagum atau bahkan… cinta?.

“Woy Kka, ngapain lo? Ngelamun aja” tegur Ray, ketika mereka bertiga sedang duduk-duduk didepan tenda. Tidak ada jawaban dari Cakka. Ray dan Alvin saling pandang, melihat kearah pandangan Cakka, hanya ada satu target. Agni !!. Ray dan Alvin tersenyum penuh arti, kemudian… “Vin, Agni kalo diliat-liat cantik juga ya” sindir Ray, ikut menatap kearah Agni yang sedang bermain gitar bersama Shilla.

Alvin mengangguk setuju, “Bener lo Ray. Cantik banget” pancing Alvin, Cakka masih diposisi semula, menatap Agni dan mengabaikan kedua sahabatnya.

“Agni ngga cantik” celetuk Cakka. Ray dan Alvin saling berpandangan lagi dan kemudian mereka menatap Cakka heran, ngga cantik kok diliatin terus sih?, batin mereka bersamaan. “Tapi… manis, baik, pinter, dan….” Cukup lama Cakka menggantung kalimatnya, membuat Ray dan Alvin menatapnya gemas “Perfect” pujian itu keluar dengan lancarnya dari bibir Cakka, pandangannya masih sama tetap pada seorang Agni. Ray dan Alvin menggelengkan kepala, ternyata ada yang falling in love, batin mereka. Lagi.

“Lo suka sama Agni, Kka?” tanya Alvin to the point, tidak ingin terlalu berbelit-belit, ia hanya tidak ingin Cakka keduluan orang lain. Seperti yang dikatakan Cakka, Agni itu nyaris perfect untuk seorang gadis dan tanpa Agni sadari, dengan sikapnya yang memang ‘welcome’ pada siapapun itu yang membuatnya disukai banyak orang. Termasuk cowok-cowok dalam jajaran atas most wanted boys di Kusuma Bangsa.
 Cakka tersadar dari lamunannya, menatap Alvin heran. Kenapa bisa Alvin bertanya seperti itu, batin Cakka menatap Alvin “Kalo lo emang suka sama Agni, nyatain. Jangan diem aja” lanjut Alvin sama sekali tidak membalas tatapan Cakka, ia malah menatap lurus ke depan.

“Hah..!!” Cakka cengo’ dengan pertanyaan sahabatnya ini, apa maksudnya?, batin Cakka semakin bingung. Ray dan Alvin kompak menepuk bahu Cakka.

“Jangan sampe lo nyesel sob, dia banyak yang ngincer” sambung Ray, kini pandangan Cakka beralih pada Ray, masih menatap sahabatnya itu dengan bingung.

Ray hanya tersenyum lalu menunjuk Agni dengan dagunya. Cakka melihat kearah yang ditunjuk Ray. Sepertinya kedua sahabatnya ini benar? Tapi benar tentang apa? Perasaannya atau tentang Agni yang disukai banyak cowok?, batin Cakka bingung. Ia masih ragu untuk menetapkan perasaannya pada gadis manis itu, masa lalunya membuatnya tidak berani untuk mulai mendekati Agni, takut-takut kalau belum sempat ia menyatakan perasaannya ia malah ditolak duluan. Tapi ia juga tidak bisa membiarkan gadis manis itu bersama orang lain, waktu gadis manis itu duduk dengan Alvin di bus saja tiba-tiba ada sesuatu yang bergemuruh di hatinya, sesak. Apalagi jika ia tau bahwa gadis manis itu sudah punya ‘someone special’, entah apa yang terjadi padanya. Cakka mengacak rambutnya, bingung. Apa yang harus diperbuatnya?
 
“Lo kalo jatuh cinta lucu ya Kka, lupa semuanya” ceplos Ray tertawa geli mengingat tingkah Cakka ketika berhadapan langsung atau sedang memperhatikan Agni. Lucu, batin Ray. Cakka mengernyitkan dahinya, heran. “Baru kali ini gue liat lo jatuh cinta. Lo beruntung banget karena Agni yang jadi first love lo”

DEG…!!!

First love?. Seketika Cakka terdiam. Ia sudah berbohong, apakah ia bukan sahabat yang baik? Sampai-sampai merahasiakan masa lalunya pada Ray dan Alvin, kedua sahabat yang –setelah masa lalu itu pergi- selalu berada disamping dan menemaninya. Masa lalu, satu kata yang selama ini cukup mengganggu hidup Cakka dan ingin dilupakannya, masa lalunya yang kelam. Masa lalu yang hampir membuatnya menjadi seseorang yang jahat. Tidak, bukan jahat tapi sangat jahat, karena ia hampir menjadi seorang pembunuh.
Cakka yang terdiam seketika itu membuat Ray dan Alvin mengernyit heran, ada apa dengan Cakka?. Setelah mendengar penuturan Ray beberapa saat lalu, Cakka seakan menghilang. Walaupun raganya masih bersama mereka tapi mereka tidak merasakan kehadiran Cakka. Mereka –Ray dan Alvin- semakin bingung dan heran ketika melihat Cakka tertunduk, seperti menyembunyikan sesuatu dari jangkauan penglihatan Ray dan Alvin. Separah itukah masalah Cakka, sampai-sampai ia seperti ini, batin Alvin yang memang menyadari ada sesuatu yang agak aneh pada diri sahabatnya itu.

***
Mata indah gadis manis ini tertutup, wajah manisnya terlihat begitu tenang, dan damai. Sudah hampir satu jam ia tidak sadarkan diri. Memang, sekarang gadis manis ini sedang istirahat, bukan istirahat melainkan pingsan. Ketika sedang membantu seorang anak kecil mengambil mainannya yang terjatuh ke dalam sawah, tiba-tiba badannya limbung dan seketika pingsan, tapi untung saja sebelum tubuh mungilnya menyentuh tanah seseorang telah menangkap tubuhnya, sehingga gadis manis ini tidak perlu tau bagaimana rasanya masuk ke dalam sawah  yang berlumpur itu. Segera saja laki-laki yang menolongnya tadi memopong dan membawanya kembali ke tenda, dan sekarang disinilah mereka. Di dalam tenda.

Mata yang tadinya terpejam, terlihat mengerjap perlahan. Mencoba menyempurnakan kembali penglihatannya, ia melihat sekelilingnya dan pandangannya terhenti pada seseorang, tepatnya laki-laki yang sedang membelakanginya. Tanpa melihat wajah laki-laki itu, ia tau siapa dia. Cakka?, batin gadis manis ini bertanya. Sedang apa ia disini, bukankah harusnya sekarang mereka sedang membantu penduduk sekitar, pikirnya lagi. Ia mencoba beranjak dari posisi tidurnya, sepertinya laki-laki itu –Cakka- menyadari bahwa gadis manis itu sudah sadar, dengan segera ia membalikkan badannya dan melihat gadis yang sedang tersenyum manis padanya. Seketika Cakka terpaku, senyum itu benar-benar membuatnya… entahlah seperti melayang. Cakka tersadar ketika gadis itu mengibaskan tangannya dihadapan Cakka.

“Eh… ehm, lo udah sadar Ag?” Cakka merutuki dirinya, terlalu bodoh karena mengeluarkan pertanyaan yang seharusnya tanpa dijawab ia sudah tau sendiri. Agni –gadis manis itu- tersenyum lalu mengangguk perlahan. “Gimana? Ada yang sakit?” tanya Cakka, lagi. Terlihat jelas raut cemas diwajah tampannya.

Agni menggeleng perlahan, “Ngga kok, gue udah ngga apa-apa” jawab Agni sambil tersenyum manis. Cakka bernapas lega, apa ia terlalu berlebihan mengkhawatirkan gadis ini?, pikirnya.

Hening. Yang terdengar hanya desahan napas dari mereka berdua, entah mengapa ketika dua makhluk ini saling berhadapan, mereka selalu terdiam, tidak bisa mengekspresikan diri sendiri. Apa mereka saling jatuh cinta? Hanya mereka yang mengetahui jawabannya. Cakka terlihat gusar, merasa tidak nyaman dengan keadaan seperti ini, ia mencoba mengalihkan pandangannya, mencoba mencari sesuatu untuk sedikit mengurangi keheningan yang terjadi. Mata Cakka terpaku pada satu benda. Gitar, segera saja diambilnya dan mencoba memetik beberapa senar gitar itu. Bagus, batinnya tersenyum puas. Ia kembali mendekati Agni, Agni mengernyit heran. Buat apa Cakka membawa gitar?, mungkin seperti itu batinnya.

Cakka mulai memainkan senar-senar gitar itu dengan lincahnya, Agni yang melihatnya hanya terdiam, terlalu terpaku dengan sosok Cakka yang ada dihadapannya. Cakka terlihat lebih… ehm keren. Agni menyadari wajahnya mulai memanas, segera ia menunduk, menghindari kalau-kalau Cakka menyadari kalau wajahnya berubah warna. Cakka masih memetik gitarnya, berbagai macam kunci sudah dimainkannya membentuk sebuah nada yang indah, sesekali Cakka terpejam. Mencoba merasakan apa yang ia salurkan pada permainan gitarnya. Nada-nada yang dimainkan Cakka terdengar ceria dan bersemangat, menggambarkan suasana hatinya saat ini. Setelah meyakinkan bahwa wajahnya sudah tidak terlalu merah karena kejadian tadi, Agni kembali menatap Cakka yang masih terpejam, seperti sedang menyatu dengan apa yang ia salurkan pada permainan gitarnya. Agni sendiri merasa ada sesuatu yang menggelitiknya, membuatnya tiba-tiba tersenyum menatap laki-laki dihadapannya ini. Cakka perlahan membuka matanya, tanpa sengaja ia menatap Agni yang juga sedang menatapnya. Cakka terpaku tapi masih memainkan gitarnya, tiba-tiba permainan gitarnya berubah arah menjadi lebih mellow dan sedikit romantis. Mata hitam bening Agni membuat Cakka seakan masuk ke dalamnya, terhipnotis pada pandangan sayu gadis manis itu. Indah, satu kata yang pas untuk mata Agni. Sama halnya dengan Cakka, Agni merasa seperti terikat dalam bola mata itu, tatapan tajamnya, menunjukkan kasih sayang mendalam dari Cakka, bukan… lebih dari kasih sayang melainkan CINTA. Cinta?, batin Agni. Mengapa Cakka menatapnya dengan tatapan yang membuatnya melting? Apa tatapan mata Cakka mengatakan yang sejujurnya, jujur bahwa ia mencintai gadis manis dihapannya. Mereka masih terdiam sama seperti posisi semula, saling menatap, dengan Cakka yang tanpa sadar semakin memainkan nada-nada romantis, menggambarkan apa yang terjadi saat ini.

“Agni, Lo ngga apa-apa kan?” terdengar suara teriakan dari luar tenda, membuat Agni dan Cakka menghentikan aktivitas mereka. Shilla, langsung menghampiri Agni yang sedang bersender. “Lo ngga apa-apa kan Ag? Gue denger lo pingsan, ada yang sakit ngga? Lo….” Cerocos Shilla, Agni yang mendengarnya langsung saja membekap mulut temannya itu. Sedangkan Cakka hanya tertawa melihat tingkah kedua cewek dihadapannya itu.

“Gue ngga apa-apa Shil” jawab Agni singkat sambil mengeluarkan senyum manisnya. Shilla menghela napas lega, pandangannya beralih pada Cakka. Shilla mengernyit heran.

“Lo ngapain disini Kka?” tanya Shilla, Cakka yang tidak siap dengan pertanyaan dadakan Shilla itu seketika menjadi gagap.

“Eh.. ehm, gu… gue disuruh nungguin Agni tadi. Iya… gitu” ujar Cakka, terlihat jelas bahwa ia sedang gugup mendengar pertanyaan dadakan Shilla. Shilla mengangguk mengerti, tidak ingin terlalu mempermasalahkan keberadaan Cakka.

“Thank’s Kka, lo udah nolongin gue” ucap Agni disertai dengan senyum yang mampu membuat siapapun yang menatapnya terpesona. Begitu juga Cakka.

“Urwell Ag” balas Cakka dengan senyum terbaiknya. “Tapi Ag… lo tau darimana kalo gue yang nolongin lo? Lo kan pingsan”

“Feeling aja” ucap Agni singkat. Cakka mengangguk-anggukkan kepalanya.

“KACANG…. KACANG…. SERIBU TIGA” teriak Shilla yang merasa diabaikan oleh dua insan itu kemudian manyun, Agni terkekeh geli melihat temannya itu.

“Ngga usah manyun Shil, jelek lo” celetuk Ray, tiba-tiba datang dan tentu saja bersama Alvin.

“APA…!!!” jerit Shilla, seketika mereka yang berada disana menutup telinganya, merasa sedikit terganggu dengan teriakan Shilla.

“Ebuset, tuh suara pake TOA yak? Budeg nih gue” ceplos Ray, menggosok-gosok telinganya.

Perang mulut antara Ray dan Shilla tidak bisa dihindari lagi, sementara ketiga teman mereka menyaksikan itu sambil menggelengkan kepalanya. Perasaan setiap bertemu, dua makhluk ini tidak bisa akur, seperti tokoh kartun Tom and Jerry. Masih mending Tom and Jerry yang masih ada akurnya, tapi Ray dan Shilla. Mereka seolah tidak ditakdirkan untuk akur, selalu meributkan hal yang tidak penting, membesarkan masalah penting dan yang penting, tidak pernah mau saling mengalah.

***
Malam terakhir camping SMA Kusuma Bangsa, terlihat jelas raut puas pada masing-masing murid. Walaupun mereka hanya sebentar disini, tapi mereka mendapat banyak pengalaman yang mungkin sampai kapanpun tidak akan dilupakan, dan satu hal penting yang mereka dapat dari camping ini yaitu segala sesuatu akan terwujud dengan usaha. Segalanya akan sia-sia jika mereka hanya menunggu dan berharap tanpa berusaha sedikitpun. Benar-benar pengalaman yang langka, dan tidak semua orang bisa merasakannya.
Malan ini, mereka menghabiskan waktu semalaman. Mengisi acara dengan bernyanyi ria, mengungkapkan bagaimana perasaan mereka selama berada disini, berbaur dengan penduduk sekitar dan mengerti arti hidup yang sesungguhnya.

Pak Duta berdiri di tengah lingkaran anak muridnya, terpancar jelas raut puas, bangga dan senangnya. Tidak sia-sia ia merencakan camping ini, sepertinya siswa Kusuma Bangsa sudah mengerti apa maksud kegiatan ini, satu persatu pak Duta terlihat memperhatikan muridnya. Ia mulai menepuk kedua tangannya, membuat semua murid yang tadi sibuk dengan kegiatan masing-masing seketika langsung menatap Pak Duta.

“Malam anak-anak” sapa Pak Duta, senyum tidak lepas dari wajahnya. Membuatnya semakin terlihat berwibawa dan punya image tersendiri.

“Malam Paaakkkk….” Koor murid SMA Kusuma Bangsa, memperhatikan kepala sekolah mereka yang tercinta.

“Bapak harap, kalian bisa mengambil hikmah yang penting dari sini. Sepertinya tidak sia-sia kita mengadakan camping kali ini. kalian terlihat sangat menikmatinya, walaupun selama seminggu ini kalian jauh dari yang namanya tekhnologi atau semacamnya. Bapak bangga kalian bisa menghadapi hidup ‘apa adanya’ disini” Pak Duta terlihat menarik napas dan tersenyum menatap anak didiknya. “Bapak bangga sama kalian dan bapak rasa kalian sudah siap untuk menghadapi ‘hidup’ yang sesungguhnya nanti” pak Duta mengakhiri pidato singkatnya, semua murid SMA Kusuma Bangsa kompak menyambutnya dengan tepuk tangan membahana.

Semua kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing, sampai mereka kembali dikejutkan dengan seseorang yang berdiri ditengah mereka. Bukan Pak Duta, melainkan seorang siswa tampan, entah mendapat keberanian darimana ia bisa melakukan hal ‘gila’ itu. Sontak apa yang dilakukannya itu menarik perhatian, semua murid menatapnya heran. Ia duduk dibangku yang tadi sudah disediakan temannya, memangku gitar dan memandang teman-temannya satu persatu. Pandangan terhenti pada gadis manis yang duduk tidak jauh darinya, seketika keberanian yang tadi dikumpulkannya lenyap. Ia sudah akan berdiri untuk meninggalkan tempat duduknya tapi terlihat dari arah berlawanan kedua sahabatnya terlihat menyemangatinya. Ia menghela napas panjang dan kembali duduk dibangku itu. Perlahan namun pasti terdengar petikan senar gitar. Membuat semua murid kali ini menatapnya focus. Sedetik kemudian ia mulai melantunkan lagu.

I've been alone so many nights now
And I've been waiting for the stars to fall

I keep holding out for what I don't know
To be with you
Just to be with you

So here I am, staring at the moon tonight
Wondering how you look in this light
Maybe you're somewhere thinking about me, too
To be with you... there's nothing I wouldn't do

And I can't imagine two worlds spinning apart,
Come together eventually
And when we finally meet I'll know it's right
I'll be at the end of my restless road
But this journey, it was worth the fight
To be with you

Just to be holding you for the very first time,
Never letting go
What I wouldn't give to feel that way

Oh, to be with you
And I can't imagine two worlds spinning apart,
Come together eventually

And when you're standing here in front of me
That's when I know that God does exist
'Cause he will have answered every single prayer
To be with you

JUST TO BE WITH YOU…

Ia mengakhiri penampilannya dengan sedikit penekanan pada bait terakhir lagunya. Matanya yang selama bernyanyi terpejam, kini mulai terbuka, menatap sekitarnya. Semua yang mendengarnya larut dalam lagu yang dinyanyikannya. Mereka speechless, tidak menyangka bahwa seorang yang bisa dibilang pembuat onar bisa menyanyikan lagu bermakna seperti itu. Cakka –si penyanyi- menahan napas, sedikit menyesal karena sudah melakukan hal bodoh tersebut. Ia bangkit dari duduknya, ketika mulai melangkah seseorang mulai bertepuk tangan, Cakka menatapnya tidak percaya. Gadis manis itu terlihat bertepuk tangan sambil tersenyum manis padanya, seketika para siswa yang tadi speechless langsung tersadar dan mulai bertepuk tangan mengikuti apa yang dilakukan sang gadis.

Tepuk tangan gadis itu perlahan terhenti ketika ia mulai merasakan bahwa Cakka mulai mendekat kearahnya, kakinya seakan dipaku, tidak bisa bergerak untuk sekedar melangkah pergi. Sedangkan Cakka, pandangannya lurus menatap gadis manis itu, tidak yang lain hanya dia, gadis manis yang sudah membuat dunianya lebih berwarna, gadis manis yang selalu membuatnya terpaku dan terpesona. Perlahan namun pasti, Cakka mendekat. Orang-orang yang berada disekitar gadis itu menyingkir, member jalan untuk Cakka. Agni –gadis manis itu- bingung, kenapa semua seperti memberi jalan. Agni ingin menghindar, tidak berani menatap langsung mata Cakka yang menatapnya tajam. Terlambat, ketika Agni akan melangkah, tangannya ditahan seseorang, Cakka. Cakka membalik badan Agni yang berdiri membelakanginya, Cakka mengganggam tangan gadis itu erat. Ia menghela napas cukup panjang, mencoba meyakinkan dirinya lagi.

“Agni Nubuwati… would you be my girlfriend??” ujar Cakka dengan lancarnya, murid lain menatap mereka dengan berbagai macam jenis, ada yang ikut senang, ada yang iri bahkan ada juga yang histeris. Melihat seorang Cakka Kawekas Nuraga menyatakan cinta dengan cara yang lumayan ekstrim, mengubah dirinya yang biasanya slenge’an menjadi cowok romantis. Sebenarnya inilah sosok Cakka yang sebenarnya, lembut, dewasa, dan romantis. Yah walaupun Ray dan Alvin juga ikut ambil bagian dalam acara penembakan ini, mereka dengan susah payah meyakinkan Cakka akan perasaannya, sampai akhirnya Cakka berani melakukan hal ‘gila’ ini.

“Gu… gue….” Agni terlihat bingung, harus menjawab apa dia.



To Be Continued...^_^

Selasa, 21 Juni 2011

Loving Girl #3rd

Loving Girl
Part #3rd

“Alvin” balas Agni singkat. Sivia terkejut, kenapa Agni malah memikirkan Alvin? Kenal-dalam arti dekat-aja belum tapi malah memikirkan Alvin sampai-sampai seperti orang kesurupan, batin Sivia heran.

@_@

Alvin, orang yang seharian ini dipikirkan oleh Agni malah terlihat mendung. Ekspresinya sedih dan terlihat penyesalan disaat yang bersamaan, Alvin menatap dari pintu kelas tempat duduk Agni tepatnya yang disebelah Agni. Kosong. Seperti biasa tempat itu akan kosong pada setiap tanggal hari ini, 25 Januari. Alvin menghela napas, panjang dan berat. Sebegitu fatal kah perbuatannya? Ia sudah berusaha memperbaikinya tapi malah… Ah, sudahlah, sekarang ia harus bangkit walaupun susah dan itu tidak membutuhkan waktu yang sedikit, setidaknya ia sudah berusaha.

“Lo pasti ada disana” desah Alvin lirih. Ia berbalik arah, berniat keluar dari kelas. Alvin terperanjat, orang yang sedari tadi ada dipikirannya tiba-tiba sudah berada dibelakangnya. Rio. Ya ternyata Rio baru saja datang padahal ini sudah jam pelajaran kelima dan itu berarti Rio hanya mengikuti pelajaran keenam sampai kedelapan.

Rio melangkah masuk ke kelas tanpa sedikit pun menoleh kearah Alvin yang berdiri didepan pintu kelas. Alvin melihatnya, melihat semua yang dilakukan Rio mulai dari Rio masuk ke dalam kelas tanpa mengiraukannya, Rio duduk dibangkunya sampai Rio yang memakai earphone I-podnya dan seketika memejamkan matanya. Alvin menatapnya miris, kemudian berjalan keluar kelas menyusul Agni yang sudah duluan ke kantin bersama Sivia. Rio, dia bukannya tak menyadari bahwa sedari tadi Alvin memperhatikan gerak-geriknya tapi ia mengacuhkannya, tidak peduli akan keberadaan Alvin. Transparan. Rio menganggap Alvin transparan, tidak terlihat dan sama sekali tidak berniat untuk melihatnya.

@_@

Keringat dingin membasahi pelipis pemuda ini, ia merasa tidak nyaman dengan mimpinya. Mimpi buruk yang selalu menghantuinya, ia sudah berulang kali berusaha untuk keluar dari mimpi itu, tapi mimpi itu selalu menghantuinya, selama kurang lebih 4 tahun belakangan ini ia tida bisa lagi menikmati tidurnya. Selalu, mimpi itu selalu datang setiap malamnya, dan hampir setiap malam pula ia harus terbangun dengan napas terengah dengan keringat yang membasahi tubuhnya. Dan seperti malam-malam sebelumnya, mimpi itu datang, bagai tamu tak diundang tapi ia juga tidak bisa mengusirnya. Ntah sampai kapan ia harus terus berada dalam dekapan mimpi itu, mimpi yang membuat segalanya berantakan, mimpi yang sudah membuatnya trauma berat dan mimpi yang sudah membuatnya kehilangan. Seperti biasa ia kembali terbangun dengan keringat yang membasahi tubuhnya, napasnya terengah seperti habis berlari, ia menatap sekelilingnya. Masih sama, ia masih berada dikamarnya.

@_@

“Kak Lio mau kelual lagi ya?” Rio membeku ditempat, ternyata perkiraannya salah. Ray belum tidur padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, Rio menghela napas sebelum berbalik menatap adiknya yang berdiri tidak jauh dari pintu kamarnya.

“Ng… ngga kok. Kak Rio ngga mau keluar Cuma mau… mau… oh iya mau ngunci pintu” ujar Rio, Ray menatapnya dengan pandangan menyelidik. Rio gelagapan sendiri menghadapi Ray.

“Kak Lio bo’ong sama Lay. Kak Lio mau klual kan?” ternyata Ray tidak mempan dibohongi, Rio menatap adiknya yang sudah manyun dan menggembungkan pipinya. Kemudian Ray berbalik dan berjalan menuju kamarnya. “Kak Lio boleh klual” ujar Ray, Rio tersenyum cerah mendengarnya, tanpa diduga Rio, Ray berbalik lagi. “Tapi Lay ngga mau minum obat lagi”.

Brak…!!!

Ray langsung masuk ke kamarnya dan membanting pintunya, sedangkan Rio? Ia mematung, terdiam ditempatnya. Mencoba untuk mencerna perkataan atau lebih tepatnya ancaman Ray tadi, huft… lagi-lagi Ray mengeluarkan ancaman andalannya. Sebenarnya hari itu Rio sangat suntuk berada dirumah, makanya ia berniat keluar. Mencari udara segar dan sedikit menenangkan hati dan pikirannya. Rio langsung mendekati pintu kamar Ray, masuk dan mendekati Ray yang sudah terlihat tidur.

“Iya, Kak Rio ngga keluar hari ini” Rio mencium kening Ray sayang setelah itu Rio langsung keluar dari kamar Ray dan menuju kamarnya dilantai dua. Sepeninggal Rio, Ray membuka matanya. Ternyata tadi Ray hanya menutup matanya, bukan benar-benar tertidur.

@_@

“Gue duluan bang” pamit Agni, keluar dari mobil Gabriel dan menghampiri Sivia yang sudah menunggunya didepan gerbang sekolah.

“Ntar gue jemput” teriak Gabriel pada Agni yang lumayan jauh darinya, Agni mengacungkan jempolnya. Gabriel hendak menutup jendela mobil yang tadi terbuka karena memanggil Agni barusan, tapi terhenti ketika ia melihat seseorang, cowok berperawakan tinggi, putih dan bermata sipit. Alvin, yah orang yang dilihat Gabriel adalah Alvin. Walaupun dalam waktu kurang lebih dari 12 tahun mereka tidak saling bertemu tapi Gabriel masih bisa mengenali Alvin, dari bahasa tubuh dan gerak-geriknya. Alvin terlihat keluar dari Volvo-nya, ternyata benar yang dibilang Agni, Alvin berubah bukan karena dia sekarang membawa mobil tapi hampir semuanya, ekspresi Alvin yang dulu ceria dan murah tersenyum sekarang malah terlihat dingin dan menyimpan banyak rahasia. Gabriel tidak mengenali Alvin yang sekarang, ia terlihat sangat berbeda. Walaupun Alvin adalah sahabat kecilnya, tapi Gabriel benar-benar tidak mengenali Alvin yang sekarang. Alvin sudah memasuki kelasnya, sedangkan Gabriel yang sedari tadi memperhatikan Alvin menepuk jidatnya. “Shit…!!! Telat kan gue” gumam Gabriel sambil menghidupkan audi-nya dan bergegas meninggalkan sekolah adiknya itu.

@_@

“Ag, lo kenal Alvin?” tanya Sivia, Agni mengernyit heran, ya jelaslah kenal orang satu kelas, batin Agni heran dan menatap Sivia yang menatapnya penasaran.

“Yaiyalah Vi, kita kan satu kelas. Masa’ ngga kenal sih” jawab Agni santai, melanjutkan bacaannya yang tadi sempat tertunda karena pertanyaan Sivia.

“Bukan itu maksud gue Ag” Sivia gemas melihat ekspresi santai Agni barusan, Agni sekarang menutup novelnya dan menghadap Sivia.

“Lah terus?” Agni sedikit bingung dengan maksud Sivia, Agni memiringkan sedikit kepalanya, menatap Sivia lebih jelas.

“Maksud gue, lo kenal ‘deket’ ya sama Alvin. Soalnya dari awal lo sekolah disini pun lo nanya-nanya soal Alvin” ujar Sivia mempertegas maksud pertanyaannya tadi, Agni mengangguk-anggukkan kepalanya dan kembali membuka novelnya, melanjutkan bacaannya.

“Iya, Alvin itu sahabat kecil gue” cerita Agni, Sivia agak tersentak kaget. “Emang kenapa Vi?” tanya Agni menatap langsung mata Sivia, mengalihkan pandangannya dari novelnya tadi. Sivia sendiri gelagapan mendengar pertanyaan dadakan Agni.

“Eh,… ng… ng… ngga… gue, gue…. Ngga kenapa-napa kok Ag” jawab Sivia mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan menyelidik Agni. Agni menyipitkan matanya, agak ragu dengan jawaban Sivia. Wajah Sivia yang sedari tadi diperhatikan Agni kini berubah warna, semula putih menjadi agak kemerahan, entah apa yang membuatnya seperti itu. Sivia makin gelagapan, Agni yang melihat itu tersenyum penuh arti.

“Lo suka Alvin, Vi?” tebak Agni, Sivia melotot garang tapi wajahnya berubah menjadi makin merah. Agni sudah tidak bisa lagi menahan tawanya, alhasil Agni Cuma bisa ngakak sambil memegangi perutnya yang sakit karena daritadi tertawa, sedangkan Sivia? manyun. Tapi tidak mengubah sedikitpun ‘warna’ wajahnya.

“BRISIK WOY” suara Rio menggema, merasa terganggu tidurnya. Rio terbangun dari tidurnya dan langsung menatap Agni dan Sivia yang berada tiga meja didepannya dengan marah. Seperti biasa yang Rio sedang tertidur dibangkunya dengan posisi kaki diletakkan diatas meja dan earphone I-podnya menjuntai indah dikedua telinganya sedikit merasa terganggu dengan Agni dan Sivia. Memang saat itu Cuma ada mereka bertiga, sejak bel istirahat Agni ‘ngungsi’ ke bangku Sivia, Rahmi, cewek berjilbab yang duduk disamping Sivia sudah pergi ketika bel istirahat tadi. Agni yang merasa tersinggung langsung menatap Rio garang, tidak terima dengan teriakan Rio. Padahal memang dari awal Agni yang salah, tertawa terlalu keras. “Ngapain lo liat-liat cewe stres!!” bentak Rio, tidak senang Agni menatapnya seperti itu. Agni memutar bola matanya dan beralih, tidak lagi menatap Rio. Rio? Kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda barusan.

@_@

Dia hanya bisa menyesal sekarang, menyesal kenapa ini semua terjadi padanya. Mengapa kejadian itu harus merenggut sesuatu yang berharga dari dirinya?, tidak cukupkah semua kebaikan yang selama ini ia lakukan?, sampai-sampai dewi fortuna tidak berpihak padanya? Jangankan berpihak, sepertinya meliriknya saja dewi fortuna enggan. Sendiri, satu kata yang selalu berteman baik dengan dirinya. Disaat ia menemukan seseorang yang mengerti dirinya tapi mengapa orang itu harus meninggalkannya? Bukan hanya meninggalkannya untuk sementara tapi meninggalkannya untuk selamanya, meninggalkan dirinya dengan berjuta penyesalan dan kesedihan, andai ia bisa memutar waktu, ia sangat kembali ke masa itu dan mencegah kejadian itu terjadi. Tapi apa daya, ia hanya manusia biasa, bukan Doraemon yang mempunyai mesin waktu dan ia juga bukan Harry Potter yang bisa melawan dengan sihirnya jika seseorang atau sesuatu mengganggu kehidupannya. Sungguh tidak adil, disaat semua orang seusianya merasa kebahagian mengapa ia malah sebaliknya, merasa kesepian, meringkuk didalam kesendirian yang mendalam.

@_@

“Bang jalan keluar yuk? Boring nih gue” ajak Agni ketika ia melihat Gabriel di ruang TV, ada yang aneh dari Gabriel, biasanya ia antusias ketika menonton apalagi jika itu acara kesayangannya tapi mengapa sekarang terdiam, pandangannya kosong dan dirinya pun seperti tak bernyawa. Agni memandang Gabriel, beralih ke TV, ke Gabriel lagi dan ke TV. Begitu seterusnya, Agni mendengus kesal kenapa malah ia seperti orang kurang kerjaan. Bergantian menatap TV dan Abangnya yang-sepertinya- sedang melamun. “Wah, mesti dikasih pelajaran nih” gerutu Agni dengan senyum misteriusnya, Agni menarik napas panjang, mendekat ke arah telinga Gabriel dan…. “BANG IYEEELLLLLLL, ADA TIKUS NAKSIR LO NOH” teriak Agni dengan suara TOA-nya, Gabriel tersadar seketika.

“HUAAAAA, BUNDA TOLONG IYEL ADA TIKUS YANG NAKSIR IYEL” teriak Gabriel histeris, sambil menaikkan kakinya ke atas sofa yang tadi didudukinya, sesekali ia melihat kearah bawah, kalau-kalau ada tikus yang dikatakan Agni barusan. Sedangkan Agni? Ia sudah berguling sambil memegangi perutnya yang sakit akibat tertawa melihat ekspresi lucu Gabriel. Gabriel yang mendengar Agni tertawa langsung mengalihkan pandangannya, Gabriel memicingkan pandangannya, matanya menyipit memperhatikan Agni. Agni yang sadar diperhatikan Gabriel langsung mencoba meredam tawanya tapi….

“Hahhahahahh, lucu lo bang. Asli parah lo. Hahahahaha” tawa Agni semakin meledak, Gabriel menatapnya garang, mendekat kearah adiknya itu. “hehehe, peace bang, damai itu indah” ujar Agni bangun dari duduknya dan.. “Kabooooooooorrr” Agni langsung berlari meninggalkan Gabriel, muka Gabriel merah antara kesal dan malu, kesal karena berhasil dikerjai adiknya dan malu karena ia takut hanya karena seekor tikus.

“Deedeeeeeeeeeeee’ awas aja lo ye, tunggu pembalasan gue” teriak Gabriel kembali melanjutkan aktivitas yang tadi sempat tertunda gara-gara ulah Agni barusan, Gabriel tak hentinya menggerutu kesal sedangkan Agni, kembali melanjutkan tawanya tadi di dalam kamar.

@_@

“Lo kenapa Ag? Dari tadi gue liat ketawa sendiri, kumat ya lo” ujar Sivia, heran mengapa daritadi temannya itu tak berhentinya tersenyum bahkan tertawa padahal disekitar mereka tidak ada yang lucu.

“Yeeee, sembarangan aje lo” balas Agni menoyor kepala Sivia, Sivia manyun.

“Lah kenapa daritadi ketawa mulu, kan ngga ada yang lucu Ag”

“Ngga, gue ngga apa-apa kok” balas Agni tapi ia masih saja tersenyum, mengingat reaksi berlebihan Gabriel kemarin. “Eh iya Vi, lo beneran suka sama Alvin ya?” Agni mengalihkan pembicaraan, Sivia yang ditanya mendadak langsung gelagapan dan wajahnya yang putih itu berubah warna lagi.

“Hah, eh… siapa bilang? Gu… gue ngga suka sama Alvin kok” elak Sivia langsung tertunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang sudah berubah warna itu.

“Ngga suka tapi cinta, iya kan???” goda Agni mencolek dagu Sivia, sedangkan Sivia? mukanya makin merah membuat Agni tertawa ngakak “Lucu lo Vi, ampe segitunya” sambung Agni, Sivia manyun. Agni masih sibuk menggoda Sivia, sampai akhirnya…

“Bisa ngga sih lo berhenti ganggu hidup gue, gue MUAK liat lo” terdengar suara bentakan dari arah lapangan, posisi kantin yang berdekatan dengan lapangan membuat semua penghuni kantin bisa mendengar dan otomatis langsung berlarian kearah lapangan, melihat apa yang terjadi.

“Gue ngga akan berhenti” terdengar suara yang menjawab bentakkan pertama, suaranya terdengar bergetar.

Agni dan Sivia saling pandang, kemudian mengikuti para murid yang sudah terlebih dahulu memenuhi lapangan. Agni dan Sivia menyeruak masuk, mencoba lebih dekat lagi kearah lapangan. Agni terbelalak, ia melihat Alvin didalam cengkeraman Rio, terlihat sekali emosi Rio yang sudah tidak terbendung lagi. Wajahnya memerah menahan amarah, begitupun dengan Alvin, tapi wajah Alvin bukan memerah karena amarah tapi karena lehernya yang dicengkeram Rio terlalu keras. Tangan kanan Rio yang bebas terkepal kuat, uratnya terlihat membuat siswa yang melihatnya bergidik ngeri. Dalam kurun waktu 3 tahun ini mereka sudah biasa melihat pertengkaran Rio dan Alvin tapi sayangnya tidak ada yang tau. Tidak ada yang tau, kecuali mereka berdua. Awalnya mereka mengacuhkan pertengkaran Rio dan Alvin, tapi jika dilihat ekspresi mereka berdua, masalah yang mereka hadapi bukan sekedar masalah sepele tapi benar-benar masalah berat sampai membuat Rio seakan muak dengan sosok Alvin.

“STOP” semua kontan menoleh ke sumber suara, terlihat Agni berjalan mendekat kearah dua orang itu. Agni berdiri disamping Rio dan Alvin, menatap mereka bergantian. Semua murid yang melihat itu menahan napas, mau apa anak baru itu?, mungkin begitu pikiran mereka ketika melihat Agni berani maju mendekati arena pertarungan. “Lo apa-apa sih hah!, kenapa lo ngekek Alvin kaya’ gini” ujar Agni melepas cengkeraman Rio, tidak terima sahabatnya disakiti ‘monster’ ini.

“Ngga ada urusannya sama lo” desis Rio menatap Agni tajam, Agni sempat bergidik ngeri melihat sorot mata itu, sorot mata setajam elang tapi sayangnya didalam sorot mata itu tersimpan begitu banyak kemarahan, Agni bisa merasakannya. Sorot mata Rio benar-benar membuatnya terpaku, ada apa dengan sorot mata itu? Sorot mata yang terlihat kemarahan yang teramat tapi juga kesedihan disaat bersamaan. “Bilang sama temen lo itu, JANGAN GANGGU GUE” peringat Rio tepat didepan muka Agni dan melenggang begitu saja meninggalkan lapangan yang masih dipenuhi para siswa. Agni sendiri masih terpaku, sorot mata itu? Mengapa begitu menyakitkan?, apa yang sebenarnya yang ia rasakan?. Alvin hanya menunduk lemah, menghela napas dan memejamkan matanya sejenak.

“Udahlah Ag, balik yuk” ujar Alvin lemah sambil menepuk perlahan bahu Agni tapi ternyata tepukan Alvin pada bahu Agni membuat Agni tersentak kaget dan tersadar dari lamunannya.

“Lo ngga apa-apa kan Vin?” tanya Agni, khawatir dengan keadaan sahabatnya ini. Wajah Alvin yang tadi memerah sekarang malah berubah pucat. Alvin menggeleng lemah.

“Gue ngga apa-apa kok. Masuk yuk, ngga enak diliatin orang” ajak Alvin menarik tangan Agni lembut. Belum terlalu jauh, Agni kembali menoleh kearah lapangan, menatap ke tempat pertengkaran tadi, Agni masih mengingat bagaimana sorot mata Rio itu. Sorot mata yang… ah sudahlah, mungkin itu hanya perasaannya saja. Tapi… mengapa sorot mata itu susah untuk dilupakan? Seperti ingin mengikat Agni didalamnya, walaupun sorot mata itu terlihat pedih tapi Agni merasa bahwa sorot mata itu sebenarnya mengartikan bagaimana kondisi keadaan sosok seorang Mario Stevano Aditya Haling ? terlepas dari sifatnya yang dingin, angkuh, cuek dan tidak peduli sekitar. Agni sendiri yang merasakan dibingungkan oleh hal itu.

@_@

Brak….!!!
Terdengar suara bantingan pintu, sang penghuni mendengus kesal. Mengapa ini semua bisa terjadi? Mengapa ia bisa kelepasan? Kelepasan membalas tatapan gadis itu dengan sorot mata yang selama ini disimpannya? Ia yakin, gadis itu pasti menyadari sesuatu dari sorot matanya barusan. Ia menyesal, mengapa harus gadis itu? Mengapa sorot mata itu keluar ketika ia bertatapan dengan gadis itu. Shit, batinnya. Rokok, itu yang menjadi pelampiasannya saat ini. Ia berjalan kearah balkon kamarnya, disana ia menghidupkan rokok yang dipegangnya dan mulai menikmatinya. Beberapa kali ia menghisap dan menghembuskannya kembali, sekitar 3 batang rokok yang menjadi pelampiasaannya saat itu. Ia berhenti menikmati rokoknya, sekarang ia malah sibuk menatap kamarnya. Kamar berwarna gelap dengan graffiti silver disalah satu sudut kamar, menggambarkan sosoknya yang keras dan pembangkang. Pandangannya kini beralih ke meja belajarnya, ada beberapa majalah otomotif dan foto. Foto seseorang yang membuatnya menjadi seperti ini, foto seseorang yang berarti baginya, yang disayanginya. Ia menghela napas perlahan, beralih menatap lemari pakaiannya, dibukanya lemari itu dan ia mengambil sesuatu. Barang yang disembunyikannya secara diam-diam, barang yang didapatnya dari teman hang-outnya, barang yang bisa membuatnya melupakan masalahnya saat ini. Ia menggeleng perlahan, terlalu bodoh jika menggunakannya sekarang. Dikembalikannya barang itu ditempat semula, hanya dirinya yang tau. Ia menghempaskan dirinya ke bed yang berada dikamarnya, mengurut pelipisnya yang terasa sedikit sakit. Sebenarnya ia sudah berusaha untuk melupakan kejadian itu, tapi entah mengapa jika ia melihat wajah pemuda bermata sipit itu ia kembali sakit, kenangan itu kembali menyeruak, memaksa masuk dalam ingatannya. Ia lelah, terlebih lagi ia lelah dengan kehidupannya. Ray, hanya Ray yang membuatnya sedikit bersemangat menjalani hidup, ia tidak tau bagaimana jika tidak ada Ray dikehidupannya yang tidak jelas ‘warna’nya ini. Akan berubah putih atau malah semakin gelap?.

@_@

Dibelahan bumi yang lain, Agni terlihat memikirkan sesuatu. sorot mata Rio. Agni tidak bisa menghilangkan sorot mata itu dari ingatannya. Seperti sudah tertempel dengan lem super, ia sama sekali tidak ingin lepas. Agni sendiri bingung, mengapa ia malah memikirkan ‘monster’ itu, tapi sungguh, sorot matanya itu menyiratkan sesuatu yang menyakitkan, lebih menyakitkan dari yang Agni kira. Dalam dan tajam, membuat Agni terpaku, sorot mata itu seolah memberitaunya sesuatu dan mengundangnya, masuk ke dalam, menguncinya dan tidak akan melepasnya begitu saja. Agni mendesah, ia sedikit menyesal mengapa ia melihat sorot mata ‘lain’ dari Rio tadi. Agni mengacak rambut sebahunya, mendengus pelas dan membaringkan dirinya. Mencoba menenangkan diri dengan pergi ke alam mimpi.

@_@

Seperti sudah ditakdirkan, Alvin juga terlihat sedang memikirkan sesuatu. Tanpa sengaja Alvin melihat sorot mata Rio ketika memandangi Agni tadi siang, sama halnya dengan Agni, Alvin pun tersentak melihat sorot mata itu, apakah sebegitu besar kesalahannya sampai-sampai sorot mata Rio berubah menjadi menyedihkan seperti itu?, batinnya galau. Jujur saja, hampir segala cara Alvin lakukan tapi sepertinya itu tidak berarti bagi Rio. Baru pertama kalinya Alvin melihat sorot mata Rio yang seperti itu, menyedihkan dan miris. Alvin semakin tak menentu, bingung, apa lagi yang harus diperbuatnya. Haruskah Alvin meminta bantuan seseorang? Dengan cepat ia menggeleng, tidak, ini masalahnya dan harus diselesaikannya sendiri. Tapi sisi lain hati Alvin mengatakan bahwa ia membutuhkan seseorang untuk menjadi perantara, Alvin semakin bingung, mana yang harus didengarnya? Berusaha sendiri atau meminta bantuan seseorang?. Sedetik kemudian Alvin sudah mengambil keputusan. Semoga ini yang terbaik, batinnya.

@_@

“Ini semua gara-gara bang Iyel nih, gue jadi ikutan telat. Awas aja tu orang, gue jadiin sambel baru tau rasa lo” gerutu Agni sambil membersihkan halaman sekolah. Yup, Agni dihukum karena datang terlambat, tidak seperti biasanya Agni dan Gabriel kompakan bangun siang, sebenarnya yang pantas disebut kesiangan itu adalah Gabriel karena Agni memang biasa bangun siang *pissAgZ, biasanya Gabriel bangun lebih dulu dan bertugas membangunkan adiknya tapi karena semalam ia begadang nonton bola jadinya ya dia telat dan alhasil Agni juga telat bangun gara-gara Gabriel telat membangunkannya.

“Heh, cewek stres !!! bisa diem ngga sih lo” terdengar suara seseorang, Agni melihat sekelilingnya. Kosong, tidak ada siapapun. Agni jadi bergidik ngeri, sekarang ia sedang berada di halaman belakang sekolah, melanjutkan tugas tambahannya membersihkan halaman kosong itu.

“Si… siapa lo?” tanya Agni, terdengar dari suaranya kalau ia sedang ketakutan, suaranya bergetar.

“Heh !!!” hup, seseorang memegang pundak Agni dari belakang, Agni tersentak, membeku ditempat dan seketika badannya bergetar, sapu yang tadi berada digenggamannya terlepas. Agni memejamkan matanya, mencoba berdoa dalam hati. Ya Allah, lindungilah hamba-Mu ini, doa Agni. “Lo bisa diem ngga sih, dari tadi ngoceh mulu” sambung ‘hantu’ itu, Agni terbelalak, suara ini. Agni berbalik, mencoba meyakinkan pendengarannya.

“Huaaaammmmpppptttt” teriak Agni, reflek ‘hantu’ itu menutup mulut Agni, mencoba menghentikan teriakannya, Agni terbelalak. ‘Monster’ ini lagi, batinnya kesal.

“Aakkkhhhhh” teriak Rio -‘hantu’ tadi-, melepas dekapannya dari mulut Agni, melihat keadaan tangannya yang sudah memerah akibat gigitan Agni, terlihat bekas gigitan disana. “Heh, gila ya lo, sakit woy” adu Rio meniupi tangannya yang terkena gigitan Agni, mencoba sedikit meredakan rasa sakitnya, Agni mencibir.

“Cih, gitu doang sakit”gerutu Agni, menatap Rio yang sibuk dengan tangannya. “Lagian, salah lo juga pake nakutin gue. Mana pake bekep-bekep segala lagi” elak Agni masih menatap Rio, emang beneran sakit ya?, batinnya saat itu. “Yaudah sini gue obatin” Agni langsung menarik rio menuju UKS sekolah.

Sepi,  ruang serba itu seperti tak mempunyai kehidupan(?). Ruangan itu terlihat ramai hanya pada hari senin, pada saat upacara dilaksanakan. Para siswa lebih memilih –pura-pura- sakit daripada melihat bendera merah-putih berkibar, sekedar menghargai dan mengenang bagaimana perjuangan para pahlawan melawan penjajah hanya untuk mengibarkan bendera tersebut. Sangat disayangkan, dizaman sekarang pada anak muda lebih memilih hang out di mall-mall atau café daripada menginjakkan kakinya ke museum atau tempat bersejarah lainnya yang tidak kalah menariknya dari mall-mall atau café-café malah disana kita juga bisa membuat menambah wawasan. Rio duduk disebuah kursi yang berada di UKS, sedangkan Agni? Ia berlari keluar membeli es, untuk mengompres luka Rio itu. Dengan sabar dan telaten Agni mengobatinya. Hening, hanya terdengar desahan napas dari mereka berdua. Ngga enak banget diem-dieman gini, batin mereka tanpa mereka sadari kompak.

“Heh..!!” ucap mereka bersamaan, tersentak. Kenapa bisa bareng, batin mereka-lagi-.

“Lo duluan deh” ujar Rio, mengalihkan pandangannya dari Agni.

“Ngga, lo duluan aja” tolak Agni, sambil membersihkan sisa ia mengobati Rio barusan. Rio berdecak lalu menghela napas perlahan, sedikit kesal dengan cewek didepannya ini.

“Ck, huft. Makasih” akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulut Rio, sebenarnya Rio agak susah mengucapkan kata itu. Terima kasih, entah sudah berapa lama Rio tidak mengucapkannya.

“Urwell” balas Agni tersenyum, untuk pertama kalinya secara langsung di depan ‘monster’ ini.

Rio segera keluar UKS, tanpa mengatakan apa-apa lagi. Entah mengapa keadaan tadi membuatnya jengah, tidak nyaman dan entahlah, keadaan itu tiba-tiba saja mengusiknya. Agni heran, tumben ngga banyak omong?, batinnya heran melihat Rio yang ‘jarang’ ngomong. Biasanya tu anak cerewet banget, batinnya lagi.

@_@

“Yo, ada yang nantangin lo” ucap Sion ketika Rio datang malam itu, dengan modal nekat. Rio akhirnya bisa kabur dari pengawasan Ray, entahlah apa yang akan Ray lakukan jika ia tau Rio keluar malam ini. Rio tidak memikirkan hal itu, yang ia butuhkan malam ini adalah hiburan, otak dan pikirannya sedang penat, apalagi mendengar permintaan papanya. Bukan, itu bukan permintaan melainkan pemaksaan dan perintah, papanya tidak mengenal kata-kata tolong atau sejenisnya yang ia tau hanya memerintah dan barusaha supaya keinginannya tercapai, tanpa memikirkan perasaan orang.

*flashbackON*
“Rio ngga mau pa, Rio ngga mau. Itu bukan Rio pa” tolak Rio, masih berusaha bersabar dengan papanya. Sang papa menatapnya datar tapi tajam (?).

“Lalu kamu mau jadi apa? Pembalap? Penyanyi? Apa Rio, apa? Masa depan kamu tidak akan cerah dengan itu” bentak sang papa, terlihat Joe –sang papa- tidak bisa lagi menahan amarahnya, jika didepan Rio, ia selalu ikut terbawa emosi, pembawaan mereka yang sama membuat mereka tidak bisa menyatu. Sama-sama keras, dan tidak ingin dibantah. Itu persamaan mereka. Ternyata pepatah yang mengatakan ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’ itu benar, terbukti dengan sifat mereka yang sama persis.

“Yang pasti Rio ngga mau ngikutin papa. Ini hidup Rio pa, Rio capek dikekang dan diperintah terus oleh papa” ujar Rio, melangkah meninggalkan Joe yang menatapnya penuh amarah, anak itu benar-benar keras kepala.
*falshbackOFF*

Rio tersadar dari lamunannya, “Siapa?” bals Rio singkat, tanpa menatap Sion disampingnya. Sion mengangkat bahunya.

“Ngga tau gue, dia ngga ngasih tau. Noh dia udah nungguin lo” ujar Sion, menunjuk kearah ‘calon lawan’ Rio malam ini. Rio menatap ‘calon lawan’nya. Menarik, dengan tunggangan ninja hijaunya ia duduk diatas motor. Rio berjalan mendekati ‘calon lawan’nya, Rio agak mengernyit. Ia merasa mengenali orang ini, tapi dimana? Dan siapa?, cara dia duduk diatas ninja hijaunya. Sama persis. Rio menggeleng, tidak, itu tidak mungkin. Dia tidak mungkin ada disini, batin Rio semakin dekat dengan ‘calon lawan’nya.

@_@

Hujan. Seperti suasana hatinya saat ini, ia menatap ke luar jendela kamarnya. Ia menghela napas, sepertinya cuaca sedang berpihak padanya, seolah ikut bersedih dengan apa yang ia rasakan saat ini. Seharusnya hari ini menjadi hari bersejarah untuknya, tapi itu tidak mungkin. Ia menghela napas, panjang dan berat. Andai kejadian itu tidak pernah terjadi, mungkin saat ini ia bisa tersenyum dan bersenang-senang, karena hari ini adalah anniversary-nya bersama sang kekasih. Sudahlah, itu semua hanya masa lalu, masa lalunya yang kelam, masa lalu yang membuatnya kehilangan semuanya, sahabat, cinta dan hampir juga kehidupannya sendiri. Sungguh bodoh jika kembali mengingat bagaimana ia berusaha ‘menyusul’ sang kekasih ke alamnya, ia rela menyakiti dirinya, membuat dirinya terluka dan menderita, membuat orang disekitarnya bersedih dengan apa yang dilakukannya. Tapi sekarang ia sadar, itu semua tidak ada artinya. Tuhan pun membenci perbuatannya jika sampai ia benar-benar sampai menghilangkan nyawanya, dan hal itu juga tidak akan membuat sang kekasih bahagia.

@_@

Ada apa dengan dirinya? Mengapa bayangan orang itu menghantuinya?, ia sudah melupakannya, tapi tetap saja tidak bisa hilang. Ingin rasanya ia mengeluarkan otaknya dan mencucinya agar ia bisa melupakan semuanya, tapi itu tidak mungkin. Kenapa sangat sulit dilupakan? Itu masa lalu, Just a past !! A bad past !!. kenapa saat itu ia harus menerimanya? Kenapa barang itu harus menjadi penghubungnya? Ia tidak menyangka bahwa orang itu mengejarnya sampai sekarang, apa sebenarnya yang diinginkan orang itu? Uangnya? Hartanya? Atau bahkan nyawanya?. Sungguh, ia menyesal. Mengapa harus menerimanya? Jika ia tau bahwa barang itu yang menjadi alasan, saat itu ia langsung menolaknya mentah-mentah. Betapa bodoh dirinya, mengapa saat itu ia tidak berpikir sejauh itu, padahal image orang itu harusnya bisa membuatnya berpikir jauh. Ah sudahlah, sekarang bukan waktunya menyesal, lebih baik menyelesaikannya daripada menghindar. Tapi apa orang itu mau? Mau menerima penolakan yang seharusnya ia lakukan dari dulu. Bagaimanapun ia harus mencari jalan keluarnya, ia tidak mau terjerumus terlalu jauh, batinnya saat itu.

@_@

Matahari terlihat bersemangat sekali mengeluarkan sinarnya, berbeda dengan kemarin. Gelap, jangankan mengeluarkan sinarnya, munculpun matahari tidak. Senyum tidak lepas dari gadis ini, sudah dari jauh hari ia ingin jalan-jalan. Semenjak kembali kesini, ia sama sekali belum pernah menginjakkan kakinya ke tempat hiburan. Ia sudah membuat jadwal kunjungan ke berbagai tempat, dari museum, kebun binatang sampai taman hiburan. Berlebihan. Memang, tapi itu bisa membuat senyum manisnya keluar, seharian senyum itu tidak luntur dari wajahnya yang sudah terlahir manis. Ia tidak perlu gaun mahal, dandanan bak putri kerajaan, barang bermerk atau apapun sejenisnya untuk membuatnya terlihat menarik, malah dengan gayanya yang cenderung tomboy, simple dan cuek sama sekali tidak menghilangkan kesan manisnya, itu membuatnya berbeda. Just be herself !!!, dia tidak peduli orang mengatakan apa, yang penting ia nyaman dan tidak mengganggu orang lain, itu sudah cukup.

Gadis itu terus menarik-narik kakaknya yang terlihat sudah lelah, tapi sepertinya itu tidak berpengaruh untuknya. Malah ia semakin bersemangat untuk mencoba berbagai macam permainan disana, mulai dari biasa sampai yang luar biasa. Kakaknya sudah terlihat sangat kelelahan, ngidam apa sih mama waktu hamil lo, batinnya kesal melihat adiknya yang sama sekali tidak merasa lelah sedikitpun. Gadis ini masih sibuk berceloteh, permainan apa lagi yang akan dicobanya. Sang kakak yang mendengarnya hanya melongo, sepertinya adiknya ini berniat membunuhnya secara perlahan. Cukup, ia sudah tidak sanggup.

“Stop de', istirahat dulu kek. Capek gue” ujar sang kakak –Gabriel- pada gadis itu –Agni-. Ia terduduk disalah satu bangku di taman hiburan itu, tidak mempedulikan ekspresi adiknya yang sudah berubah cemberut dan manyun.

“Yah, bang. Ntar aja deh istirahatnya, gue masih mau main” rengek Agni, ikut duduk disebelah abangnya sambil sesekali menarik-narik tangan Gabriel.

“Please de', gue udah ngga sanggup. Ntar deh ya, istirahat dulu” bujuk Gabriel dengan tampang melasnya, Agni melihat itu jadi tidak tega sendiri. Ia menghela napasnya.

“Yaudah deh, kita istirahat dulu” ujar Agni akhirnya, ekspresi Gabriel berubah cerah. “Tapi ntar lanjut lagi lho” sambung Agni, Gabriel mengangguk semangat sambil tersenyum dan mengacak poni Agni yang sudah mulai memanjang itu. Akhirnya, batin Gabriel senang.

@_@

Terdengar suara tangisan, Agni melihat sekelilingnya. Mencari darimana sumber suara tangisan itu, Agni bangkit dari duduknya, mencoba mencari sumber suara. Agni melihat kearah kanan, dekat kios yang menjual berbagai macam jenis ek krim, ia mendekat, suara itu makin jelas. Agni semakin yakin kalau suara tangisan itu berasal dari sana, perlahan Agni mulai mendekat. Itu dia !!!, terlihat seorang anak laki-laki berumuran sekitar 3 sampai 4 tahun, memakai baju bergambar SpongeBob didepannya, wajahnya terlihat imut dengan rambutnya yang gondrong, anak itu terduduk sambil menunduk, memeluk kakinya dan menenggelamkan kepalanya disana. Agni berjongkok didepan anak itu, tangan Agni menyentuh kepala anak itu lembut, anak itu mendongak, menatap orang dihadapannya. Ia masih terisak, sedikit takut dengan kedatangan Agni yang tiba-tiba. Agni tersenyum manis, mencoba meyakinkan anak itu, perlahan namun pasti anak itu membalas senyuman Agni sambil sesekali mengusap airmatanya.

“Kamu kenapa nangis?” tanya Agni lembut, tangannya masih mengelus kepala anak itu.

“Kak Lio ilang” jawab anak itu, kembali mengeluarkan airmatanya. Agni sedikit bingung. Lio? Siapa Lio? Apa dia orang yang bersama anak ini?, batin Agni.

“Cup.. cup.. udah ya kamu jangan nangis. Lio itu siapa?” bujuk Agni, anak itu mengernyit dahinya, heran.

“Bukan Lio kak, tapi Lio (Rio), pake rl, bukan l” anak itu mencoba memperjelas maksudnya, Agni heran. Emang apa bedanya? Batin Agni bingung, menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal.

“Iya Lio. Lio itu siapa kamu?” tanya Agni lagi, anak itu mendengus kesal. Sepertinya orang didepannya ini tidak mengerti maksudnya.

“RL-I-O, Lio(Rio) kak, bukan Lio” anak itu bersikukuh, mencoba sedikit menggetarkan lidahnya, memperjelas apa yang dimaksudnya. Agni cukup lama berpikir, mencoba memahami maksud anak didepannya ini. Jangan-jangan !!!.

“Maksud kamu Rio?” tanya Agni meyakinkan, anak itu tersenyum lebar. Mata bonekanya berbinar lucu, Agni melihatnya gemas. Tapi tunggu, Rio? Apa Rio si ‘monster’ yang dimaksud anak ini, batin Agni bertanya. Agni menggelengkan kepala, tidak !!, itu tidak mungkin. Yang namanya Rio itu banyak, batinnya lagi. Anak itu menatap Agni bingung, kenapa geleng-geleng, batinnya bertanya.

“Kakak, kenapa geleng-geleng. Pusing ya?” tanya anak itu, terpancar raut cemas diwajah imutnya. Agni tersenyum lalu menggeleng.

“Ngga kok, kakak ngga apa-apa. Eh iya, nama kamu siapa? Kenalin nama kakak Agni” Agni mengulurkan tangannya, anak itu menyambutnya sambil tersenyum lebar.

“Aku Lay” balas anak itu tersenyum. Lay?, kok kaya’ nama snack ya?, batinnya bingung. Eh jangan-jangan bukan Lay tapi…

“Maksud kamu Ray?” Agni meyakinkan, anak itu –Ray- mengangguk semangat.

Agni dan Ray larut dalam pembicaraan mereka, baru beberapa menit yang lalu mereka kenal tapi entah mengapa saling membuat keduanya merasa nyaman. Sesekali terdengar celotehan dari bibir mungil Ray, Agni yang gemas hanya bisa mencubit pipi Ray perlahan, kalau sudah seperti itu Ray hanya bisa manyun tapi sedetik kemudian tertawa. Agni lupa dengan Gabriel yang masih beristirahat, sedangkan Gabriel sendiri masih sibuk mengistirahatkan dirinya, tanpa menyadari bahwa adiknya itu sudah ‘hilang’.

“Ray….!!!” Terdengar suara panggilan, Ray yang merasa namanya dipanggil langsung menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari tau siapa yang memanggilnya. “Ray….!!!” Panggilan itu terdengar lagi, Ray menoleh kearah kiri. Terlihat seorang cowok celingak-celinguk, sepertinya dia yang memanggil Ray, Ray mengenalinya. Ray turun dari bangku yang didudukinya bersama Agni, Agni menatap Ray bingung.

“Ray?, mau kemana?” tanya Agni, Ray menatapnya, kemudian menunjuk kearah orang yang memanggilnya.

“Itu kak Lio, kak” tunjuk Ray kembali menatap pemuda itu, Agni tersenyum kemudian beralih menatap orang yang memanggil Ray. Matanya terbelalak lebar.

“Ray” ucap cowok itu, berlari kearah Ray lalu menggendongnya, Ray memeluk leher orang itu erat. Orang itu mengalihkan pandangannya pada cewek yang berada disamping Ray –Agni-, seketika matanya terbelalak lebar, tidak percaya.

“LO !!!” ucap mereka bersamaan, setengah berteriak.




To Be Continued... ^_^

I'm Yours - David Archuleta's version (without Music) ==> Copast from YouTube

I'm Yours - David Archuleta's version (with Music) ==> Copast from YouTube

Minggu, 19 Juni 2011

You're Mine #2nd

“Hei Kka” panggilnya, Cakka dan Deva kompak mendongak untuk mengetahui siapa yang memanggilnya.

Cakka terperanjat dan cengo’ beberapa saat, sekarang di sampingnya ada seorang gadis yang tersenyum manis ke arahnya sambil membawa beberapa kantong berisi makanan, rambut sebahunya terurai indah, padahal jika disekolah rambut itu hampir sama sekali tidak pernah terurai, malah lebih sering diikar seperti ekor kuda, dengan pakaian simplenya tidak mengurangi aura kecantikan yang terpancar indah dari dirinya. “Kka, lo ngga apa-apa kan?” tegur gadis itu, Cakka tersentak dan seketika langsung tersedak.

“Uhuk…..Uhuk….” Cakka mengelus dadanya, gadis itu membantunya dengan memberikan air minum Cakka, sedangkan Deva, ia malah tertawa melihat kakaknya yang menderita.

“Aduh, sorry Kka. Gue ngga maksud buat lo tersedak, Sorry ya” balas gadis itu merasa bersalah atas ‘insiden’ tersedaknya Cakka, Cakka mengangguk maklum.

“Ngga apa-apa kali, ini juga salah gue” ujar Cakka tersenyum, gadis itu tersenyum manis lagi tanpa gadis itu sadari sedari tadi Cakka sedang berusaha menyembunyikan saltingnya didepan gadis manis ini. “Eh iya, abis ngapain Ag?” seketika Cakka langsung merutuki pertanyaan bodohnya, udah tau ditempat makan, ya pasti beli makan dong? Bego’ banget sih lo Kka, batin Cakka.

“Oh, ini gue abis beli makan tadi” balas gadis yang dipanggil ‘Ag’ oleh Cakka tadi sambil menunjukkan kantong berisi makanannya, ya gadis yang dipanggil ‘Ag’ oleh Cakka ini adalah Agni, lebih tepatnya Agni Nubuwati. Seorang siswi yang bisa dibilang aktif dalam segala macam kegiatan disekolahnya, gadis manis dengan berbagai prestasi di bidang akademik maupun non-akademiknya. Gadis yang mempunyai senyum manis hanya dengan menarik sedikit sudut bibirnya, Gadis yang entah disadari atau tidak oleh Cakka, sudah berhasil membuat jantungnya berdetak diatas batas kemampuan. “Sama siapa Kka?” pertanyaan Agni seketika membuat Cakka tersadar dari keterpesonaannya pada seorang Agni.

“Oh… Eh ini, ehm… gue bareng ade’ gue” jawab Cakka gugup. “Nih Ag, kenalin ini ade’ gue Deva, dan Deva ini temennya kak Cakka namanya kak Agni” ujar Cakka sambil memperkenalkan Agni pada Deva, Agni tersenyum manis dan sedikit menunduk supaya Deva tidak terlalu sulit untuk melihatnya.

“Hai Deva, kenalin. Nama kakak, Agni”ujar Agni tersenyum manis sambil mengelus lembut kepala Deva, Deva membalas senyuman Agni, mata belo’nya terpancar lucu ketika tersenyum.

“Aku Depa kak, lengkapnya Depa Ekada Nuraga” balas Deva, senyum Agni semakin lebar mendengarnya, dari dulu Agni memang sangat menyukai anak kecil apalagi anak kecil itu lucu seperti Deva. Cakka tersenyum melihat kedekatan dua orang dihadapannya.

“Ehm….Ehm…. kacang…. Kacang…..” ujar Cakka, yang merasa ‘diabaikan’ oleh Agni dan Deva, serentak Agni dan Deva menoleh kearah Cakka yang manyun.

“Mana kacangnya kak?” tanya Deva polos, sambil melihat sekelilingnya, kalau-kalau ada kacang(?). agni yang mendengar ucapan polos Deva itu tertawa kecil.

“Deva sayang, disini ngga ada kacang” jelas Agni, ia melihat jam tangan hitam yang bertengger manis ditangan kirinya. “Uhm, sorry Kka, gue duluan ya. Soalnya udah ditungguin” pamit Agni pada Cakka, Cakka tersenyum dan mengangguk mengerti. Agni menyetarakan tingginya dengan Deva. “Deva, kakak pulang duluan ya. Kakak seneng bisa kenalan sama kamu” Deva nyengir mendengarnya, membuat Agni sedikit gemas dengan Deva. “Duluan ya Kka, Dev” pamit Agni lagi.

“Hati-hati Ag” balas Cakka, Agni mengangguk dan berjalan keluar dari tempat makan itu.

“Depa suka sama kak Agni” Cakka seketika mendelik kearah Deva, Deva tidak memperhatikan tatapan Cakka karena sibuk dengan spageti yang sedari tadi susah dipotong(?). Masa’ saingan sama ade’ sendiri sih?, batin Cakka sedetik kemudian Cakka langsung menggelengkan kepala, eh kok gue ngomong gitu sih? Gue kan ngga suka Agni, sambung Cakka masih tetap menggelengkan kepalanya. “Kak Cakka kenapa? Kok geleng-geleng gitu sih?” tanya Deva sambil ikut mencontohkan Cakka yang tadi geleng-geleng kepala.

“Hah, ngga. Kak Cakka ngga apa-apa kok”

***
“Ma, Pa, Cakka berangkat ya” pamit Cakka sambil berlari menuruni tangga, dan lagi-lagi ia telat bangun. Sepertinya kebiasaan Cakka yang satu ini sudah mendarah daging, sebenarnya seperti biasa tadi Deva sudah membangunkannya, tapi karena Cakka tidak bangun-bangun makanya Deva langsung turun meninggalkan kakaknya yang masih asyik di alam mimpinya.

“Sarapan dulu sayang” peringat sang mama, Cakka yang tadi sudah sampai pintu depan kembali berbalik, mengambil roti dari tangan mamanya, juga tidak lupa menyalami kedua orang tuanya dan pastinya pamit juga pada Deva. Cakka langsung bergegas menuju cagivanya dan tancap gas.

Cakka mengemudikan cagivanya dengan kecepatan diatas rata-rata, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa  ia dikejar polisi karena melanggar lalu lintas, ternyata ‘kebiasaan’ Cakka dulu bisa menyelamatkannya dari kejaran polisi, polisi menyerah mengejar Cakka yang sudah berada jauh didepan. Cakka menyipitkan matanya, dan sedikit memperlambat laju cagivanya. Oik, sedang apa gadis itu di taman? Bukannya sekarang jam sekolah, batin Cakka. Tanpa sadar, Cakka menghentikan cagivanya, dan menghampiri Oik yang sedang duduk sambil tertunduk di salah satu bangku taman.

“Oik…!!!” ucap Cakka, meyakinkan bahwa gadis itu benar-benar Oik, sedangkan Oik, mendengar ada yang memanggilnya ia mendongak tapi sebelumnya Oik menghapus sisa airmatanya. “Lo ngapain disini, Ik? “ tanya Cakka penasaran, Cakka menyentuh pipi Oik yang tadi dialiri airmata, “Lo nangis?” Cakka mengusap lembut pipi Oik, membersihkan bekas air matanya. Cakka bingung, dua kali ia bertemu ‘lagi’ dengan Oik, itu dalam kondisi Oik yang habis menangis, apa Sion segitu kasarnya? Sampai-sampai setiap Cakka bertemu Oik, dalam keadaan gadis itu habis menangis, batin Cakka heran.

“Ngga Kka, tadi gue kelilipan aja” Oik melepaskan tangan Cakka dari pipinya, mencoba mengusap sendiri bekas airmatanya. Cakka menghela napas, kenapa Oik harus bohong? Oik tau, Cakka tidak percaya ucapannya. “Udahlah Kka, gue ngga apa-apa” Oik kembali meyakinkan Cakka, Cakka hanya mengangguk kecil. “Eh iya, lo ngapain disini Kka? Ngga sekolah lo?” tanya Oik, sedikit heran karena Cakka ada disampingnya sekarang.

Cakka menepuk jidatnya, menoleh kearah Oik dan nyengir, “Hhe, lupa gue Ik” jawab Cakka cengengesan. Oik yang melihat itu hanya tersenyum. Kebiasaan, batin Oik.

Pertemuan kedua ini sedikit membuat Cakka nyaman, karena selama mereka saling bertukar cerita, Oik tidak pernah mengungkit atau menyinggung tentang masa lalu mereka berdua. Oik sendiri merasa kehadiran ‘Cakka-nya’ yang dulu, Cakka yang perhatian, Cakka yang baik dan Cakka yang perfect dimata Oik. Yah itu memang pribadi Cakka sebenarnya lepas dari segala masa lalunya yang kelam. Ray dan Alvin, sahabat Cakka yang sekarang tidak mengetahui bagaimana sebenarnya Cakka dulu, bagaimana hancurnya seorang Cakka? dan bagaimana penyesalan Cakka ? sehingga membuatnya lebih baik seperti sekarang. Tidak. Tidak ada yang tau kecuali Orang tua Cakka, dan tentu saja….OIK.!! Oik tau bagaimana Cakka dulu, karena Oik adalah salah satu dari kepingan masa lalu Cakka.

Cakka menatap layar BlackBerry-nya, terlihat beberapa pesan dan hanya ada dua nama yang tertera disana ALVIN dan RAY, dua cecunguk yang pastinya sedang heboh disekolah mereka karena Cakka tidak masuk, Cakka hanya tersenyum membayang bagaimana hebohnya Alvin dan Ray gara-gara Cakka tidak masuk sekolah dan itu tanpa kabar. Walaupun Cakka selama ini telat, tapi Cakka termasuk siswa yang rajin sekolah, maka dari itu Alvin dan Ray sibuk sendiri. Cakka mengabaikan pesan dari kedua temannya itu, dan beralih menatap gadis disebelahnya.

“Ik, gue duluan ya. Mau bareng ngga?” tawar Cakka, Oik tersenyum lalu menggeleng.

“Ngga deh Kka, makasih” tolak Oik halus, Cakka mengangguk mengerti.

“Duluan Ik” ucap Cakka sebelum ia pergi meninggalkan Oik yang masih berdiri ditempatnya semula.

“Ternyata lo ngga berubah Kka” desah Oik tersenyum menatap kepergian Cakka tadi.

***
Tok…
Tok…
Tok…

Terdengar ketukan pintu dari luar kamar Cakka. Ya, Cakka lebih memilih pulang daripada berkeliaran tidak tentu arah, Cakka yang sedang asyik dengan PSnya, langsung me-pause permainan bolanya, menghampiri pintunya, Cakka sedikit terkejut ketika mendapati kedua cecunguk itu didepan pintu kamarnya, bersama Deva. Ray dengan cengiran khasnya dan Alvin dengan gaya cool-nya menyambut Cakka ketika membuka pintu, Cakka mendengus pelan.

“Eh, ngapain lo berdua kesini?” tanya Cakka kembali sibuk dengan PSnya tapi sekarang ia battle dengan Ray, sedangkan Alvin? Sibuk dengan rubik yang selalu dibawanya, Deva? Sibuk dengan mobil-mobilannya.

“Kita mau jenguk lo” jawab Ray tanpa beralih dari layar TV, memperhatikan permainan bola mereka. Cakka mengernyit heran, jenguk? Gue kan ngga sakit, ngapain dijenguk, batin Cakka menatap Ray dan Alvin bergantian. “Iya, lo sakit kan” ujar Ray –sok- tau, Cakka melotot mendengarnya dan seketika itu juga Ray dihadiahi toyoran gratis dari Cakka.

“Nyumpahin lo” ujar Cakka garang, Ray mengelus kepalanya yang tadi ditoyor Cakka. Deva yang memperhatikan itu menatapnya dengan pandangan bingung.

“Kak Cakka tadi ngapain kepala Kak Ray sih?” tanya Deva panasaran, kontan ketiganya menatap Deva, Cakka dan Ray hanya nyengir.

“Ngga ngapa-ngapain kok Dev, yang tadi jangan ditiru ya” elak Cakka, Deva mengernyitkan dahinya. Tidak puas dengan penjelasan Cakka.

“Kenapa ngga boleh?” tuntut Deva, Cakka dan Ray kompak menggaruk belakang kepalanya, bingung bagaimana cara menjelasnya pada Deva.

“Itu ngga baik Dev, kepala itu bukan untuk mainan. Biarin aja mereka berdua, tapi kamu jangan niru ya” jelas Alvin, Deva mengangguk mengerti dan kembali sibuk dengan mainannya. “Makanya, jangan aneh-aneh kalo didepan anak kecil” peringat Alvin. Cakka dan Ray serentak mengangguk.

Lama mereka saling terdiam, larut dalam kegiatan masing-masing. Yang terdengar hanya suara Ray, sibuk dengan permainan PS bolanya bersama Cakka, Ray menggerutu kesal ketika gawangnya berhasil dibobol oleh Cakka. Selama permainan itu, Ray tak henti-hentinya mengoceh karena tim yang dimainkannya -Chelsea- kalah telak oleh Cakka yang tentu saja memegang Liverpool. Skor akhir 5-2 untuk kemenangan Cakka dan karena itu Ray harus mentraktir Cakka dan Alvin, sebenarnya Alvin tidak ada sangkut pautnya dengan pertandingan mereka berdua, tapi karena tadi Alvin ditunjuk sebagai saksi maka dari itu Alvin juga ikut. Huh, tekor dah gue, batin Ray kesal, manyun.

“Udah Ray, ngga usah manyun gitu. Nambah jelek aja lo” celetuk Alvin yang membuat Cakka tertawa, sedangkan Ray, tambah manyun dengan ucapan Alvin tadi.

“Yaudah yuk berangkat, keburu tutup dah” ajak Cakka, ketiganya melangkah keluar rumah Cakka. Mereka menuju mobil Cakka, biar ngga ribet karena Alvin dan Ray bawa’ motor, sebenarnya mereka pengen hemat dengan memanfaatkan mobil Cakka yang nganggur.

***
“Lo kemaren kenapa ngga masuk Kka, guru-guru pada nyariin lo. Ampe bosen gue jawabnya” gerutu Alvin, saat ini mereka sedang berada di lapangan futsal sekolah mereka. Menjernihkan pikiran, sebenarnya bukan menjernihkan pikiran tapi menghindar dari pelajaran Kimia, salah satu dari deretan MAFIA, mata pelajaran yang tidak lepas dari rumus –Matematika, FIsika dan kimiA-. Dari namanya saja sudah bisa ditebak bagaimana ‘menariknya’ pelajaran itu?, pelajaran yang mencakup tentang unsur-unsur kimia, table periodic dan sejenisnya. Dalam sekejab Kimia bisa membuat seseorang menjadi professor, dengan rumusnya yang tidak sedikit itu. Dan ketiga murid ‘teladan’ ini lebih memilih untuk tidak menjadi seorang professor daripada harus berkutat dengan rumus kimia yang seketika selain bisa membuat jadi professor tapi juga bisa membuat seseorang terkena radang otak ringan.

“Wih, terkenal juga ya gue. Guru-guru aja pada ngefans” ujar Cakka berdecak kagum mendengar seberapa ‘terkenal’ dirinya disekolah ini. Alvin dan Ray serentak menoyornya, Cakka meringis.

“Eh sarap, malah bangga lo” ucap Ray, heran dengan Cakka yang tidak menyadari seberapa terkenalnya dikalangan guru-guru. Memang, hampir semua guru mengenal Cakka. Bukannya guru piket yang sudah bosan dengan kebiasaan Cakka tapi juga guru-guru yang bisa dibilang ‘fresh’, karena apa? Setiap mereka menginjakkan kaki di kelas ‘amazing’, seketika itu juga guru itu akan disambut dengan berbagai macam komentar dan siapa lagi pemimpinnya kalau bukan Cakka?

“Lo kenapa ngga sekolah?” tanya Alvin lagi. Cakka menghela napas sebelum menjawabnya.

“Gue ngga apa-apa. Lagi males aja” jelas Cakka singkat, ia tidak ingin membahas masalah ini untuk sekarang.

“Kaya’nya lo belum siap cerita” ujar Alvin tanpa menatap Cakka disebelahnya, Cakka menatapnya dengan berbagai ekspresi, antara heran dan kagum. Heran karena Alvin bisa tau dan kagum karena tebakannya tepat sasaran. Cakka belum siap menceritakan masa lalunya. “Yaudahlah, kalo lo udah siap, kita berdua siap dengerin lo kok” sambung Alvin, Cakka tersenyum. Berterima kasih pada kedua sahabatnya ini.

***
Gadis ini larut dalam kegiatannya, mengumpulkan beberapa artikel untuk dipasang di madding. Memang dia salah satu anggota mading, dan posisinya sebagai wakil ketua tidak membuatnya bisa bebas dari tugas. Malah sebaliknya, ia harus rela mengurangi sedikit waktu senggangnya hanya untuk mem-filter artikel yang telah terkumpul dan nantinya akan diseleksi untuk keluaran edisi mading minggu ini. Gadis ini menyeka keringatnya, wajah manisnya terlihat semakin terpancar dengan ekspresi seriusnya. Melelahkan. Harus menyeleksi sebegitu banyaknya artikel, dia saat ini memang sedang sendiri. Teman yang seharusnya menemaninya malah tidak hadir, dengan sangat terpaksa ia mengerjakan sendiri. Semua gerak-gerik gadis ini terekam jelas diingatan Cakka, tidak sengaja ketika Cakka, Alvin dan Ray berniat ke kantin Cakka malah melihat gadis manis ini sedang sibuk dengan beberapa kertas, bukan beberapa tapi banyak kertas karena meja yang lumayan luas itu tertutup oleh kertas-kertas itu. Cakka terpaku beberapa saat, ia tidak menyadari bahwa Alvin dan Ray sudah berada 3 meter di depannya.

“Woy Kka buruan, lama amat sih” teriak Ray dengan suara TOA-nya, Cakka tersentak, tersadar dari lamunannya dan langsung menyusul kedua sahabatnya dengan setengah berlari.

Mendengar ada suara teriakan gadis ini seketika menoleh kearah pintu, tempat berdirinya Cakka tadi. Tapi sekarang nihil, tidak ada siapa-siapa disana. Ngga mungkin dia disini, batinnya sambil menggelengkan kepalanya, menghela napas cukup panjang dan kembali larut dalam pekerjaannya.

***
Sudah lebih dari 20 menit bel tanda berakhir sekolah berbunyi, tapi Cakka masih sibuk dengan kagiatannya sekarang. Mencatat. Sesuatu hal yang jarang Cakka lakukan kecuali terpaksa. Ntah mengapa hari itu ia ingin lebih lama berada disekolah, ya daripada tidak ada kerjaan, Cakka lebih memilih menyelesaikan catatan yang tadi diberikan Ms. Angel, guru bidang study bahasa Inggris yang masih ada keturunan Prancis dan tinggal diperempatan Ciamis, begitu Cakka selalu mendeskripsikan Ms. Angel jika ada yang bertanya tentang guru cantik ini, dikelas pun tak hentinya Cakka dan para penghuni kelas ‘amazing’ menggodanya.

Cakka sedikit melenturkan tubuhnya yang agak kaku, gara-gara terlalu konsen mencatat. Ia segera membereskan peralatan sekolahnya yang masih berserakkan. Cakka melihat sekelilingnya. Kosong. Wajar saja sekarang sudah lebih dari 30 menit bel bunyi, hanya ada beberapa siswa ekskul yang masih berada dilapangan ketika Cakka berjalan menuju parkiran.

Cagiva Cakka terhenti kerena melihat seseorang, tepatnya seorang gadis. Bukan gadis tinggi, putih dan imut yang beberapa hari lalu bertemu dengannya tapi gadis yang memiliki kulit yang lebih khas Indo-sawo matang, tidak terlalu hitam-, berparas manis, rambutnya dikuncir sembarangan membuat beberapa helai rambutnya masih menjuntai indah menambah kesan manis padanya, Cakka menatapnya tak berkedip, tapi seketika ia tersadar. Sedang apa gadis itu disini? Kenapa belum pulang?, pertanyaan itu berputar diotak Cakka. Dengan sedikit keberanian atau lebih tepatnya nekat, Cakka mendekati gadis manis itu dengan senyuman khasnya.

“Hei, Ag. Ngapain? Belom pulang” sapa Cakka sambil melepas helm fullface-nya dan tersenyum pada gadis tadi-Agni-. Agni membalas dengan senyuman manis miliknya, dan lagi-lagi jantung Cakka berdetak diatas batas wajarnya.

“Belom Kka, lagi nunggu jemputan” jawab Agni sambil melihat arloji yang terpajang indah ditangannya, Cakka ber’o’ ria. “Lo sendiri? Baru pulang” tanya Agni dan sekarang menatap Cakka. Cakka mengangguk.

“Yupz, seperti yang lo liat, gue belom pulang. Kalo udah pulang mah gue ngga disini kali” jawab Cakka, Agni terkekeh kecil mendengarnya.

“Bisa aja lo Kka” tawa Agni, seketika raut mukanya berubah ketika mendapati pesan dari supirnya, terpaksa Agni harus pulang sendiri.

“Kenapa Ag?” tanya Cakka, menyadari perubahan raut muka Agni.

“Eh,… oh ini, gue ngga jadi dijemput. Soalnya mobilnya tiba-tiba ngadat dijalan” jelas Agni, sedikit bingung bagaimana caranya ia pulang, taksi pada jam seperti itu jarang lewat didepan sekolahnya. Cakka yang menyadari itu langsung berinisiatif.

“Bareng gue aja yuk” tawar Cakka, Agni sedikit tersentak dengan tawaran Cakka.

“Ngga ngerepotin?” tanya Agni meyakinkan lagi, Cakka menggeleng. “Tapi kita kan beda arah Kka” ujar Agni, masih tidak enak dengan tawaran Cakka.

“Udahlah yuk, daripada lo disini. Taksi jarang lewat jam segini” kata Cakka, tanpa persetujuan langsung menarik tangan Agni, menuntun gadis ini untuk naik ke cagivanya. Muka Agni seketika merah diperlakukan Cakka seperti itu.

***
Cerah. Seperti memahami suasana hatinya, cuaca hari yang selama beberapa hari lalu terlihat tidak bersahabat kini malah berbalik seakan mengerti perasaannya, Senyum tidak lepas dari wajah tampannya, seharian ini senyumnya hampir selalu mengembang, orang rumahnya pun dibuat bingung dengan tingkahnya, biasanya pada hari minggu seperti saat ini ia lebih terlihat badmood karena tidak ada yang menarik hatinya. Dia memang bisa dibilang murah senyum tapi kali ini, senyumnya berbeda. Senyum kali ini memiliki arti tapi sepertinya hanya dirinya yang tau arti itu. Sang papa sebelum berangkat keluar kota tadi sempat dibuat heran, tiba-tiba anak sulungnya itu berniat mengantarnya ke bandara, tidak seperti biasanya. Padahal dulu, jangankan disuruh ke bandara yang letaknya lumayan jauh, jalan ke mini market depan kompleks ia selalu menolak, bukan hanya papanya yang dibuat heran, mama dan adiknya pun sama, tapi mamanya hanya tersenyum melihatnya, sepertinya naluri keibuan sang mama bisa mengetahui apa yang sedang dirasakan anak sulungnya. Jatuh cinta. Ya, jatuh cinta, siapakah gadis yang bisa merebut hati putarnya? Dan yang lebih ‘wah’ lagi, dia bisa membuat anaknya menjadi seceria ini. Ia bersyukur, semoga gadis itu –yang dicintai anaknya- adalah gadis yang tepat, batin sang mama.

***
“Haduh, telat lagi kan gue” gerutu Cakka ketika menaiki tangga menuju kelasnya. Hari ini sepertinya berpihak pada Cakka, tempat yang biasanya jadi tempat ‘nongkrong’ guru piket terlihat kosong. Dengan santai Cakka melenggang bebas tanpa harus menjalani olahraga tambahan lagi. Tiba ditikungan, karena tidak hati-hati Cakka menabrak dan….

“Aduh, sorry. Gue ngga sengaja” suara lembut menyapa telinga Cakka, Cakka yang semula berniat ‘ceramah’ panjang lebar terhenti ketika mengetahui siapa yang ditabraknya. Suara itu, suara yang sudah terekam sangat jelas diotak, pikiran dan hatinya. Dia masih menunduk, membereskan kertas-kertas yang berserakan akibat insiden tadi, ia mendongak mencoba mencari tau siapa yang ditabraknya. “CAKKA” ucapnya setengah berteriak, Cakka sedikit menutup telinganya, ia tersenyum malu melihat teriakannya cukup mengganggu. “Sorry ya gue beneran ngga sengaja” ucapnya dan berdiri, Cakka mengikutinya.

“Ngga apa-apa kok Ag, gue juga salah. Jalan ngga liat-liat” balas Cakka dengan senyum manisnya, Agni -yang bertabrakan dengan Cakka- tersenyum lega.

“Gue duluan ya Kka, mau nganterin ini” pamit Agni sambil menunjukkan kertas yang tadi dipegangnya. Cakka menggangguk, seketika Agni langsung meninggalkan Cakka yang masih terpaku.

Entah mengapa, bagi Cakka, Agni seperti magnet. Cakka selalu tidak bisa mengalihkan pandangannya jika ia sudah melihat Agni, apakah ia jatuh cinta? Entahlah, suatu saat ia akan menyadarinya. Lagipula hatinya masih ragu, ia benar-benar jatuh cinta atau hanya sekedar kagum dengan sosok Agni yang nyaris sempurna sebagai seorang cewek, Agni memang tidak cantik tapi ia manis, Agni memang termasuk pendiam tapi siapapun yang mengenalnya akan merasa nyaman berada didekatnya, Agni memang tidak termasuk ke jajaran anak ‘excellent’ di kelas XII IPA 1 tapi Agni bisa masuk di kelas XII IPA 2, dan disana Agni tidak lepas dari peringkat 10 besar, cukup membanggakan daripada masuk di kelas ‘amazing’ XII IPA 3, kelas jurusan IPA yang bisa dibilang tambahan. Murid-murid disana adalah murid yang ‘special’, special dalam arti mereka tidak cocok masuk di kelas IPA maupun IPS, para pengurus sekolah sendiri bingung mengapa ada murid yang otaknya ‘special’ seperti anak-anak dikelas ‘amazing’. Maka dari itu pihak sekolah dengan berat hati menambahkan satu kelas IPA khusus untuk mereka. Karena IPS lebih tidak cocok untuk mereka. Kembali lagi dengan Agni, mungkin sekilas Agni tidak terlalu menarik, tidak seperti Shilla, sahabat Agni yang memiliki postur tubuh tinggi, putih, cantik dan berwajah blasteran ataupun Ify yang notabenenya adalah kapten basket putri disekolah ini, mempunyai fans fanatic yang tersebar dari kelas X sampai XII. Cuma hanya ada satu kata yang cocok buat Agni.  SPECIAL. Just it !. hanya itu yang menggambarkan sosok Agni bagi seorang Cakka, Cakka Kawekas Nuraga. Cowok slenge’an tapi memiliki daya pikat tersendiri, mempunyai fans dari kelas X sampai dikalangan guru. Walaupun sikap Cakka kadang-kadang menjengkelkan tapi itu yang membuat dirinya dikenal menjadi sosok yang ‘lain’ dan hal dalam diri Cakka yang ‘lain’ itu membuat Cakka menjadi ‘wah’ dimata fansnya. Cakka yang semula berniat masuk kelas langsung memutar dirinya ke perpustakaan. Menunggu sampai jam pelajaran berikutnya.

***
“Lo tadi kemana Kka? Kenapa ngga langsung masuk?” tanya Ray, ketika mereka bertiga-seperti biasa- menikmati makanan dihadapannya dengan kalap.

“Gue ke perpus, males masuk. Udah telat banget”

“Kebiasaan banget lo Kka, bisa ngga kebiasaan lo itu dihilangin atau ngga dikurangin lah. Kita udah kelas XII sob, bentar lagi UTS trus ngga lama lagi UN. Masa’ lo gini terus sih” cerocos Alvin tanpa menatap Cakka, Alvin malah sibuk memisahkan bawang goreng dari nasi uduknya.

“Ya… gue udah berusaha, tapi mau gimana lagi. Kaya’nya udah mendarah daging deh” jelas Cakka sejenak meninggalkan batagornya dan terlihat berpikir.

“Berusaha pale lo. Yang gue liat nih, lo malah makin parah tau ngga” kali ini Ray yang menyela, Alvin mengangguk setuju, sedangkan Cakka? Bingung memikirkan kebiasaannya itu.

“Udahlah, ntar gue coba”
“Nyeh, santai amat lo Kka” celetuk Ray, Cakka mengacuhkannya.

Mereka kembali disibukkan dengan santapan masing-masing, sambil sesekali membicarakan hal yang sama sekali tidak penting. Unik, hanya satu kata yang cocok untuk mereka bertiga. Dari karakter yang berbanding terbalik, mereka bisa jadi sahabat. Cakka yang terkesan slenge’an ternyata mempunyai sisi lembut dan pengertian, apalagi jika berhadapan dengan anak kecil dan wanita. Alvin, cowok pendiam satu ini paling dewasa diantara ketiganya, yang sering memperingatkan kedua sahabatnya jika tindakan mereka keterlaluan. Dan terakhir Ray, cowok imut ini entah mengapa bisa menjadi bagian diantara mereka, cowok ini kadang lola *pissRR tapi dari sanalah sering tercetus jalan keluar yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Alvin maupun Cakka. Dan seperti biasa, jika seorang tokoh lebih dominan dalam sebuah cerita mereka pasti memiliki fans, begitupun dengan ketiga orang ‘unik’ ini.

***
Semua murid sudah berkumpul lapangan tempat biasa diadakan upacara bendera, mereka bingung mengapa mereka dikumpulkan dengan tiba-tiba. Mereka saling berbisik, ingin tau apa yang sebenarnya terjadi sampai-sampai menghentikan pelajaran yang sedang berlanjut. Seorang guru, bukan guru tapi Kepala Sekolah naik ke atas podium, sedikit mengecek keadaan mic dan mulai membuka suaranya.

“Siang anak-anak” sapa Pak Duta. Kepala sekolah yang memiliki kharisma tersendiri, kepala sekolah yang bergaul dan membaur dengan muridnya dan kepala sekolah yang bijaksana tentunya.

“Siang pak……..” koor murid-murid, perhatian mereka sekarang focus pada pak Duta yang siap memberi penjelasan mengapa mereka dikumpulkan.

“Mungkin kalian heran mengapa kalian dikumpulkan saat ini” ucap pak Duta, hampir semua siswa mengangguk setuju. “Saya mengumpulkan kalian disini ingin memberi kabar, khususnya untuk kelas XII” pak Duta menyapu pandangannya menuju barisan kelas XII. “Khusus kelas XII, kita akan mengadakan camping” kata pak Duta, terlihat tatapan tidak setuju dari murid kelas X dan XI, mereka merasa tidak adil mengapa hanya kelas XII yang mengadakan camping. “Camping kali ini bertemakan ‘Who Am I?’ dari temanya, kita sudah bisa menduga apa yang akan kita lakukan disana. Selain kita akan mengenal alam lebih dekat, camping ini diadakan supaya kalian bisa lebih siap untuk terjun langsung ke kehidupan yang sebenarnya, kehidupan yang akan menjadi pilihan dan tumpuan kalian nantinya” lanjut pak Duta, anak kelas XII mengangguk setuju, sedangkan yang kelas X dan XI menatap mereka iri. “dan untuk kelas X dan XI, selama kelas XII melaksanakan camping, untuk sementara kalian diliburkan” mendengar ucapan pak Duta kontan membuat mereka bersorak, pak Duta yang melihatnya tersenyum detik kemudian para murid kembali tertib. “Camping akan dilaksanakan lusa dan akan berlangsung selama satu minggu ke depan, kita berkumpul disekolah besok lusa pukul 07.30 WIB. Dan untuk hari ini kalian free, tapi masih belum boleh pulang” sorak sorai kembali membahana, tergambar jelas raut kegembiraan.  Bagaimana tidak? Satu minggu kita tanpa perlu menguras kerja otak, otak juga perlu refreshing. It’s a real life …!!!.

Terlihat lagi sekumpulan murid, kali ini bukan untuk mendengarkan pengumuman tapi untuk menyaksikan pertandingan footsal antara kelas ‘amazing’ dan kelas ‘excellent’. Pertandingan yang menyita banyak minat, siapa yang tidak berminat? Dua kelas yang bertolak belakang sekarang akan mengadu skill dan kemampuan mereka dalam mengocek bola. Terlepas dari kemampuan IQ mereka yang berbeda, dilapangan ini mereka saling membuktikan. Kelas ‘excellent’ ingin membuktikan kalau mereka bisa dalam segala bidang dan semakin menguatkan image mereka sedangkan kelas ‘amazing’ mereka hanya ingin membuktikan kalau mereka juga tidak bisa dipandang sebelah mata dan mereka ingin membuktikan bahwa tidak selamanya anak kelas ‘amazing’ itu tidak berguna.

Priiiiiitttttttttttt…….
Wasit meniup peluitnya, sebenarnya satpam sekolah yang beralih proofesi menjadi wasit jika diadakan pertandingan footsal dadakan seperti ini. Semua pemain berdiri ditengah lapangan, kelas ‘excellent’ diwakilioleh Septian, Ozy, Abner, Rizky, Irsyad, dan Nyopon sedangkan kelas ‘amazing’ diwakili oleh Riko, Alvin, Ray, Kiki, Patton dan tentu saja Cakka. Para pemain saling berhadapan, sebelum memulai pertandingan mereka bersalaman. Yah hanya sekedar formalitas karena seperti yang diketahui kedua kelas ini tidak bisa akrab. Cakka dan Rizky, sebagai kapten maju mendekati wasit. Wasit terlihat menjelaskan peraturan permainan, Cakka dan Rizky mengangguk mengerti, seperti dipermainan sepak bola, wasit memperlihatkan sebuah koin. Rizky memilih gambar, dan tentu saja Cakka mendapat bagian angka, wasit melempar koin dan terlihat GAMBAR, kelas ‘excellent’ berhak melakukan kick off pertama. Cakka dan Rizky bergantian bersalaman dengan wasit, mereka kembali ke posisi masing-masing, gawang kelas ‘excellent’ dijaga oleh Septian, cowok yang memiliki postur tubuh agak berisi sedangkan kelas ‘excellent’ dijaga oleh Ray, yah walaupun perbandingan yang sangat mencolok, tapi Ray tidak bisa dipandang sebelah mata, badannya yang memang agak mungil dari yang lain membuatnya bisa bergerak bebas dan posisi kipper memang andalannya.

Semua sudah berada diposisi, kick off yang dilakukan kelas ‘excellent’ dilakukan oleh Ozy dan Irsyad, didepan mereka ada Riko dan Alvin yang berposisi sebagai penyerang, yah walaupun mereka juga sering dalam posisi bertahan. Wasit berdiri ditengah lapangan, mengangkat sebelah tangannya dan PRIIIITTTTT….. peluit dibunyikan, Ozy dan Irsyad langsung melakukan kick off dan mulai menyerang. Seketika Alvin maju dan menghalangi mereka, sempat terjadi perebutan bola antara Alvin dan Irsyad, Alvin selalu menekan Irsyad hingga akhirnya Irsyad lengah dan dengan mudah Alvin mengambil bola dan mengoper pada Riko yang sudah maju didepan gawang bersama Cakka, Riko menerimanya dengan baik tapi sayang Abner menahannya dan langsung mengembalikannya lagi pada Ozy yang tidak jauh dari dirinya.

“Shit …!!!” umpat Riko, kembali mundur ke belakang mencoba menghalangi Nyopon yang tadi menerima bola dari Ozy.

Babak pertama berlangsung alot, tidak ada satupun dari mereka yang berhasil mencetak gol. Istirahat turun minum, para pemain kembali ke posisi lapangan. Beristirahat sebentar mencoba sedikit merenggangkan otot yang kejang gara-gara bermain cukup gila-gilaan tadi.

“Gila, ngga nyangka gue mereka hebat juga. Gue kira mereka Cuma ngenal rumus-rumus doang” gerutu Riko sambil menatap kearah kelas ‘excellent’ yang juga sedang istirahat.

“Bener kata lo Ko, gue aja kelabakan jaga dibelakang. Mana sendiri lagi” sindir Kiki pada Patton, Patton nyengir. Seharusnya Patton juga berposisi sebagai back bersama Kiki tapi karena melihat perlawanan kelas ‘excellent’ yang gila-gilaan, ia tidak bisa berdiam diri melihat kelas ‘excellent’ seolah mengejek dengan permainan mereka.

“Udahlah, dibabak kedua kita harus lebih semangat lagi, kaya’nya kita ngga bisa nyepelein mereka deh” semangat Cakka, yang lain kontan mengangguk semangat.

Terlihat wasit sudah berdiri ditengah lapangan, para pemain dari kedua belah pihak kembali ke posisi semula, tidak ada pergantian pemain. Mereka saling semangat untuk memenangkan pertandingan. Wasit sudah meniupkan peluitnya dan pertandingan babak kedua dimulai.

***
“Gila capek banget gue, mana cidera pula” gerutu Cakka ketika dirinya sedang duduk-duduk dibalkon kamarnya sambil menatap langit dan tak lupa gitar yang berada dipangkuannya. Langit terlihat indah dengan sinar bulan purnama penuh, dan tentu saja ditemani sang bintang, bulan purnama penuh akan terlihat membosankan jika ia hanya sendiri tanpa bintang. Bintang bagai pelengkap langit yang penting, jika bintang tidak muncul keindahan langit terasa hambar, datar dan sepi. Cakka tanpa sadar memetik senar gitarnya.

Bintang malam katakan padanya
Aku ingin melukis sinarmu di hatinya
Embun pagi sampaikan padanya
Biar ku dekap erat waktu dingin membelenggunya

Reff:
Tahukah engkau wahai langit
Aku ingin bertemu membelai wajahnya
Kan ku pasang hiasan angkasa yang terindah
Hanya untuk dirinya

Lagu rindu ini kuciptakan
Hanya untuk bidadari hatiku tercinta
Walau hanya nada sederhana
Ijinkan ku ungkap segenap rasa dan kerinduan

Tiba-tiba saja Cakka melantunkan lagu itu, entah mengapa lagu yang dipopulerkan Kerispatih itu seperti menggambarkan suasana hatinya saat ini. Rindu. Yup, Cakka sedang merindukan seseorang, entah mengapa hatinya mengatakan seperti itu. Ketika menyanyikan lagu itu, Cakka membayangkan wajah seseorang, gadis manis yang tadi terlihat sangat cemas ketika Cakka terjatuh dan cidera, Cakka tersenyum geli membayangkannya bagaimana ekspresi cemasnya, walaupun dari jauh tapi Cakka menangkap jelas raut kekhawatiran yang berlebihan disana. Cakka menggelengkan kepalanya, mencoba meyakinkan bahwa yang dirasakannya benar-benar tulus atau sekedar suka melihat ekspresi berlebihan yang ditunjukkan gadis itu.



To Be Continued... ^_^