Jumat, 23 September 2011

Loving Girl #7th

“Lho, kakak ini kan….” Ujar Ray sambil menunjuk Alvin yang berada tidak jauh darinya. Agni mengernyitkan dahinya sedikit heran melihat Ray mengenal Alvin.

“Lho, Ray kenal sama kak Alvin?” tanya Agni lembut sambil mengusap rambut gonrong Ray, Ray kembali mengalihkan pandangannya pada Agni kemudian mengangguk mantap.

“Hu-um. Kak Agni inget kan waktu peltama kita ketemu” tanya Ray pada Agni, Agni terlihat berpikir kemudian mengangguk pelan. “Nah sebelum Lay ketemu sama kakak. Lay ketemu sama kak Apin ini, dia yang beliin Lay es klim” jelas Ray panjang lebar, Agni dan Alvin hanya tersenyum tipis mendengarnya sedangkan Rio? Masih menatap Alvin dengan tatapan tajamnya.

“Buruan Ray, katanya mau jalan. Ntar kesorean” ajak Rio sedikit memaksa, Ray menatap Rio dengan mengerutkan dahinya dalam, datik kemudian Ray kembali menatap Agni dan Alvin.

“Ayo kak” ajak Ray pada Agni, Agni berdiri kemudian menggandeng tangan kecil Ray. Ray berhenti kemudian mengalihkan pandangannya pada Alvin. “Kak Apin mau ikut?” tawar Ray yang kontan saja membuat Rio bahkan Alvin sendiri tersentak, Alvin menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal.

“Ngga bisa Ray, dia sibuk” potong Rio menatap Alvin tajam, Alvin hanya menghela napas mendengar jawaban Rio itu. Ray mengangguk-anggukkan kepalanya. Agni menatap Rio dengan pandangan penuh tanya sekaligus heran. Yang ditanya Alvin kok yang jawab nih monster sih, batin Agni masih menatap Rio.

“Iya Ray. Lain kali aja ya” tolak Alvin sambil tersenyum tipis pada Ray. Ray membalasnya, memamerkan deretan gigi susunya. “Gue duluan” pamit Alvin sambil melangkah menuju Volvo-nya yang terparkir tidak jauh dari mobil Rio.

@_@
Alvin mendesah berat sambil memandang danau dihadapannya. Pikirannya berkecambuk dan bercabang. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Rasa itu semakin kuat, dan itu berarti pilihan itu semakin nyata terlihat. Alvin memejamkan mata sipitnya perlahan, mencoba menenanngkan hati dan pikirannya. Perlahan mata itu kembali terbuka dan memandang hamparan danau dihadapannya. Ya, Alvin sudah mengambil keputusan. Dia tidak ingin kehilangan gadis manis itu, walaupun Alvin tau resikonya, untuk saat ini Alvin seolah menutup mata dan mencoba melupakan masa lalunya sejenak. Dan ia akan melayani jika memang bersaing itu menjadi pilihan terakhirnya. Tapi perlahan semangat yang tadi menbuncah dihatinya itu sirna, apalagi mengingat adik kecil Rio, Ray. Terlihat sekali bahwa bocah imut itu sangat menyukai gadis manis itu, tegakah Alvin menyakiti bocah imut itu demi egonya semata? Lagi-lagi Alvin mendesah, kali ini lebih lama dan panjang. Alvin kembali menghembuskan napasnya kemudian berdiri dan beranjak dari danau yang sepi itu, berjalan gontai menuju Volvo-nya.

@_@
Gabriel menatap gadis dihadapannya itu dengan berbagai macam perasaan, tidak bisa dipungkiri kalau rasa itu masih ada dan sulit untuk dihilangkan begitu saja. Sedari tadi keduanya hanya terdiam, larut dalam fantasi masing-masing, Gabriel menatap gadis cantik dihadapannya itu. seolah mencari kejujuran atau setidaknya sedikit penjelasan untuk akhir hubungan mereka yang… yah cukup aneh buat Gabriel.

“Aku ngajak kamu ketemuan bukan buat diem. Tapi buat jelasin semuanya sama aku” Gabriel membuka pembicaraan dengan nada datarnya, membuat gadis cantik dihadapannya itu mendongak dan menatap Gabriel.

“Maaf” hanya itu yang keluar dari bibir manis gadis cantik dihadapannya, Gabriel mendesah kesal.

“Aku juga ngga butuh maaf kamu. Yang aku butuhin sekarang itu penjelasan kamu” nada bicara Gabriel sudah naik satu oktaf, membuat keduanya menjadi pusat perhatian di restoran yang lumayan sepi itu. gadis cantik itu kembali menunduk, takut melihat emosi Gabriel saat ini. “Sorry” desah Gabriel pelan membuat gadis cantik itu mengangguk lemah. “Sekarang, jelasin sejelas-jelasnya sama aku” pinta Gabriel, kali ini nadanya sudah berubah menjadi lebih lembut. Gadis cantik itu kembali menatap Gabriel. “Apa gara-gara ‘pria’ itu kamu mutusin aku?” tebak Gabriel dan telak membuat gadis cantik itu membeku ditempatnya. Terlihat gadis cantik itu mengangguk lemah, membuat Gabriel menghela napas berat. “Apa selama ini aku ngga cukup baik buat kamu?” tanya Gabriel, dari nada bicaranya terlihat pemuda tampan ini frustasi.

“Kamu baik. Bahkan sangat baik buat aku” jawab gadis cantik itu masih menunduk, tidak berani menatap langsung Gabriel dihadapannya.

“Kalo gitu kenapa kamu mutusin aku? Apa yang ‘pria’ itu kasih sama kamu? sampe kamu rela mutusin aku tiba-tiba gini” tanya Gabriel memburu membuat gadis cantik itu memberanikan diri menatapnya.

“Seperti yang aku bilang Yel, kamu baik. Bahkan sangat baik buat aku, tapi sayang Yel. Hati aku udah bukan milik kamu lagi” jawabnya pelan membuat Gabriel menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Aku yakin kamu pasti bisa nemuin cewek yang lebih baik dari aku Yel” setelah mengucapkan itu, gadis cantik itu berdiri dan melangkah meninggalkan Gabriel yang masih mematung, detik kemudian Gabriel tersadar dan kontan langsung berlari menyusul gadis cantik itu.

“Nad… Nadya tunggu…!!!” teriak Gabriel, tapi percuma taksi yang membawa gadis cantik itu sudah melesat pergi meninggalkan Gabriel yang berdiri mematung ditempatnya.

@_@
“Sebenernya lo sama Alvin ada masalah apa sih? Lo sinis banget kalo sama dia” tanya Agni memberanikan diri, tangannya mengelus lembut kepala Ray yang tertidur dipangkuannya membuat bocah imut itu semakin menggemaskan.

“Bukan urusan lo” jawab Rio dingin, Agni sempat bergidik ngeri tapi sekuat hati ia mencoba memberanikan dirinya, rasa penasaran itu sudah terlalu membuncah dihatinya.

“Memang ngga ada. Gue Cuma pengen tau aja, apa yang udah ngebuat sahabat kecil gue yang manis itu tiba-tiba berubah dingin. Gue seakan ngga ngenalin lagi sahabat kecil gue itu, gue kehilangan dia yang dulu” jelas Agni memandang ilalang tinggi dihadapan mereka, tangannya masih mengelus lembut kepala Ray, Rio mengalihkan pandangannya menatap Agni penuh tanya, Agni tersenyum tipis tanpa membalas pandangan Rio. “Alvin, dia sahabat kecil gue. Sahabat gue yang manis, lucu, baik dan perhatian. Tapi sekarang…” Agni menghela napas berat kemudian mengangkat bahunya pasrah, “semua hilang. Gue ngga kenal sama Alvin yang sekarang, dingin, cuek dan terlalu tertutup” lanjut Agni semakin membuat Rio menatapnya lama. Agni mengalihkan pandangannya menghadap Rio, membuat keduanya saling menatap lama. “Apa alasan gue itu ngga cukup kuat buat gue tau semuanya?” kali ini Agni menatap Rio serius. Rio mengalihkan pandangannya dari Agni, sedikit jengah karena Agni menatapnya seperti itu.

“Buat gue, itu masih belum cukup buat dijadiin alesan lo tau semuanya” jawab Rio singkat, Agni kembali menghela napas berat masih tetap memandang Rio.

“Jujur aja. Pertama kali gue liat kalian berdua berantem waktu itu, gue ngerasa kalo gue bakal terlibat dalam masalah kalian. Gue denger semua tentang kalian, mulai dari persepsi orang kenapa kalian perang dingin? Dan gue liat sikap kalian yang saling menghindari. Terlepas dari alesan Alvin itu sahabat kecil gue atau ngga. Gue dan rasa penasaran gue yang tinggi ini kaya’ nuntun gue buat nyelidikin semuanya. Semuanya, sampai akhirnya, tanpa ada yang tau gue udah terlibat didalemnya” ujar Agni, sedikit menceritakan apa yang selama ini ia rasakan. Rio mengalihkan pandangannya pada gadis manis disebelahnya ini. inikah saatnya? Batin Rio menatap Agni dalam.

Rio menghela napas pelan. “Ini semua karna Ify” ujar Rio berat, sedikit memantapkan dirinya untuk sejenak kembali ke masa lalu yang kelam itu, Agni tersenyum tipis melihat awal yang baik dari Rio. Tapi detik kemudian Agni mengernyitkan dahinya, Ify? Nama itu seperti tidak asing lagi bagi Agni. “Dia yang buat gue sama Alvin kaya’ gini. Perang dingin, saling menghindar bahkan seolah ngga saling kenal” sambung Rio kemudian menghela napas pelan. “Gue sama Alvin dulunya sahabat, gue ketemu Alvin waktu ngeliat dia nangis karena ditinggal sahabat kecilnya. Kaya’nya gue sekarang tau siapa yang dimaksud Alvin” ujar Rio sedikit tersenyum tipis sambil memandang Agni, Agni membalas senyum Rio. “Gue sama Alvin deket banget, mungkin bisa dibilang kaya’ sodara. Alvin tau semua tentang gue, masalah keluarga gue dan bahkan rasa cinta gue sama adik gue sendiri. Ify” jelas Rio tersenyum miris, Agni tersentak.

“Adik? Ify adik kandung lo” tanya Agni masih tersentak mendengar penuturan Rio. Rio kembali tersenyum miris kemudian mengangguk lemah.

“Iya, Ify adik kandung gue. Waktu itu belom ada Ray, ya gue sama Ify deket banget sampe-sampe rasa terlarang itu tumbuh dengan sendirinya dan gue sadar itu waktu Ify cerita kalo dia suka sama sahabat gue. Alvin” ada jeda dalam cerita masa lalu Rio, Agni masih menantinya dengan sabar. Walaupun berkali-kali hatinya tersentak, terlalu banyak kejutan. “ Gue gunain alasan klise yang mengatas namakan sodara buat ngelarang Ify deket-deket sama Alvin. yah.. walaupun dibelakang gue, mereka berdua sering banget ketemuan. Sejak saat itu hubungan gue sama Alvin agak merenggang. Gue ngga mau Ify diambil Alvin dengan alasan apapun, ego gue yang tinggi saat itu seolah nutup mata gue kalo Ify itu adik kandung gue. Adik yang lahir sama-sama dari rahim nyokap gue dan adik yang buat gue jatuh cinta” Rio menghela napas berat, kemudian memandang Agni nanar. “Sampai akhirnya, gue ngelakuin hal bodoh itu” ujar Rio pelan sambil menunduk, Agni sendiri sampai tidak tega melihat pemuda disampingnya ini rapuh.

“Kalo lo emang ngga sanggup, ngga usah diterusin juga ngga apa-apa kok” tanpa sadar Agni mengelus lembut punggung Rio, membuat pemuda itu tersenyum tulus.

“Gue bakal lanjutin cerita gue” ujar Rio menatap Agni kamudian kembali mengalihkan pandangannya kedepan. “Gue nyium Ify, dan itu gue lakuin didepan Alvin. Gue juga kaget kenapa bisa kalap kaya’ gitu. Ngeliat itu Alvin langsung nonjok gue dan nyoba nenangin Ify yang histeris gara-gara gue cium. Ify ngga mau liat muka gue, dan Alvin langsung aja bawa’ Ify pergi ninggalin gue yang masih ngurusin luka bonyok dimuka gue” Rio tertawa miris disela-sela ceritanya. “Waktu gue pengen pulang, gue liat ada kerumunan orang ngga jauh dari tempat gue. Gue penasaran, langsung aja ngeliat dan ternyata apa yang gue liat itu ngga kaya’ yang gue harepin. Feeling gue yang tiba-tiba ngga enak itu ternyata bener” sambung Rio tanpa ia sadari cairan bening itu mengalir deras dari matanya, Rio tidak mencoba menghapusnya, ia sudah bertekad, untuk kali ini ia ingin membuka semua tentang dirinya, termasuk sisi rapuh dirinya. Agni tersentak melihat air mata yang tiba-tiba mengalir itu, sebegitu beratkah masalah mereka. Berkisar tentang cinta terlarang. Rio menghela napas panjang kemudian kembali melanjutkan ceritanya. “Ify meninggal ditempat, kondisinya saat itu mengenaskan. Dan yang paling ngebuat gue kesel adalah Alvin ngga ngalamin luka sama sekali, dia Cuma diem disamping jenazah Ify tanpa ngelakuin apapun. Gue kalap, dan langsung aja nonjok Alvin, dia Cuma diem. Pandangannya kosong, seolah masih belom percaya kalo Ify udah meninggal gara-gara kebodohan dia waktu pake motor. Itu yang sering gue takutin dari Alvin, Alvin suka kalap kalo udah berurusan sama motor sampai akhirnya adik gue yang jadi korban” lagi-lagi Rio tertawa miris, air matanya masih mengalir dengan deras. “Dan sejak saat itu gue mulai menghapus semua hal tentang Ify dan Alvin. Semua itu terlalu menyakitkan buat gue. Ify bodoh karena lebih milih Alvin dan akhirnya dia yang harus pergi. Dan Alvin, pembunuh itu sekarang malah masih melenggang bebas disini” nada bicara Rio terdengar tajam ketika menyebut Alvin sebagai pembunuh. Sebegitu kecewa dan marahnya Rio pada dua orang itu?

“Lo ngga bisa nyalahin Alvin sepenuhnya” akhirnya Agni membuka suara, Rio beralih manatap Agni tajam. Agni hanya membalasnya dengan pandangannya yang meyakinkan. “Ini semua takdir Yo. Mungkin ini cara Tuhan buat ngasih tau lo kalo cinta lo itu salah. Lo ngga seharusnya cinta sama adik kandung lo” Agni menghela napas panjang. “Dan gue rasa, Alvin Cuma sebagai perantara Tuhan buat nyampein kalo semua itu ngga pada tempatnya. Dan mungkin Tuhan manggil Ify buat nyadarin lo. Kalo Ify itu adik lo dan selamanya akan terus jadi adik lo” sambung Agni menatap Rio lembut, mencoba meyakinkan Rio.

@_@
“Lo kenapa bang?” tanya Agni ketika melihat Gabriel yang sedang melamun dengan gitar dipangkuannya. Gabriel mendesah kemudian menggeleng pelan, Agni berdecak kesal. “Ck, lo ngga bakat bohong bang. Gue tau lo” ujar Agni sambil duduk tepat disebelah Gabriel sambil memandangi bintang-bintang, Agni tersenyum tipis melihatnya.

“Gue tadi abis ketemu sama Nadya” ujar Gabriel memulai sesi curhatnya, matanya memandang lurus jalanan yang berada dihadapan mereka. Agni mengernyitkan dahinya bingung. “Mantan gue” lanjut Gabriel seakan menyadari raut wajah Agni itu, Agni membulatkan mulut kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Trus?” tanya Agni, kali ini tangannya sibuk mengotak-atik gitar yang tadi berada dipangkuan Gabriel, Agni mendengar Abangnya itu menghela napas berat dan panjang.

“Dia mutusin gue karna pria lain” ujar Gabriel singkat membuat Agni terkekeh kecil. Pria? Sejak kapan bahasa Gabriel berubah menjadi formal gitu, pikir Agni masih tertawa kecil. “Kenapa lo ketawa?” tanya Gabriel sambil menatap Agni dengan mengerutkan dahinya, heran kenapa adiknya itu tertawa padahal tidak ada yang lucu dari pernyataan Gabriel barusan.

“Pria? Sejak kapan bahasa lo jadi formal gitu bang” ceplos Agni masih tertawa kemudian menggelengkan kepalanya pelan dan kembali focus dengan gitar dipangkuannya. Gabriel menganga mendengar penuturan adiknya itu kemudian mendengus kesal dan mendaratkan tangan bebasnya dikepala Agni membuat adiknya itu meringis perlahan.

“Sarap lo. Gue kira lo kenapa, tiba-tiba ketawa sendiri” gerutu Gabriel sambil mengerucutkan bibirnya, Agni hanya nyengir. “Tapi gue serius soal ‘Pria’ itu. gue nyebut dia ‘pria’ karena dia ngga seumuran sama gue ataupun Nadya. Ya mungkin dia seumuran sama Ayah, mudaan dikit sih kaya’nya” ujar Gabriel sambil kembali mengingat-ingat pria yang beberapa hari lalu dilihatnya bersama Nadya.

“Gila bang. Tua amat” ceplos Agni, sedikit tersentak mendengar penuturan Gabriel, Gabriel hanya tersenyum miris.

“Gue aja shock de’. Ngga nyangka kalo dia lebih milih ‘pria’ itu daripada gue” desah Gabriel sedikit menunduk, tidak ingin memperlihatnya sisi rapuh dirinya didepan sang adik. Agni mengelus punggung Gabriel perlahan, mencoba sedikit memberi kekuatan dengan itu.

“Udahlah Bang. Masih banyak yang mau sama lo, lagian gue yakin… lo pasti bisa nemuin orang yang lebih baik dari si Nadya-Nadya itu” hibur Agni masih dengan mengelus pelan punggung abangnya, perlahan Gabriel mendongakkan kepalanya dan menatap Agni dalam. Tanpa aba-aba Gabriel memeluk adiknya itu hangat, membuat Agni tersenyum dipelukan Gabriel.

“Thanks de’” ujar Gabriel tulus kemudian menenggelamkan wajahnya ditengkuk Agni mencoba menenangkan diri dipelukan adiknya itu, sedangkan Agni? Kembali mengelus punggung Gabriel pelan sambil sesekali menepuknya.

@_@
“Nih” ujar Rio melempar komik Bleach kaluaran terbaru yang dibawanya sembari duduk disebelah Agni yang sedang menikmati baksonya, Agni menatap Rio tajam kemudian tersenyum sumberingah menatap komik dihadapannya itu. Sivia menatap kedua orang didepannya ini dengan pandangan yang memiliki banyak arti, antara bingung, cengo’, kagum dan tidak menyangka dengan kedatangan Rio yang tiba-tiba.

“Thanks monster, ngga nyangka deh lo baik” ceplos Agni membuat Rio menatapnya tajam, Agni nyengir sambil menunjukkan jari tengah dan telunjuknya, Rio melengos kesal kemudian menyeruput juice melon dihadapannya. “Eh.. eh punya gue tuh. Asal minum aja lo” gerutu Agni meratapi nasib juicenya yang tinggal setengah gelas itu, Rio hanya menatapnya malas.

“Beramal dikit napa sih? Pelit banget lo, juice doang” gerutu Rio kemudian beralih menatap Sivia dihadapannya yang sedari tadi terdiam hanya menatap keduanya bingung. “Eh, temen lo kenapa? Autis ye” ceplos Rio sambil berbisik membuat Agni menimpuknya dengan komik Bleach itu, Rio meringis menatap Agni tajam.

“Eh, lo ngomong jangan asal ye. Sembarangan aja lo. Temen gue tuh” ujar Agni, Rio hanya melengos kemudian mencibir perlahan. “Vi, lo kenapa? Daritadi diem aja” ujar Agni sambil sedikit menyentuh pundak Sivia, membuat gadis berlesung pipi itu tersentak kaget, kemudian mengelus pelan dadanya.

“Hah..!!! Ngga, gue ngga apa-apa kok. Cuma heran aja kenapa bisa ada dia disini” jelas Sivia sambil menunjuk Rio yang sibuk dengan siomay pesanannya, Rio yang merasa ditunjuk langsung mengalihkan pandangannya pada Sivia.

“Emang kenapa kalo gue disini? Lo ngga suka?” sebelum Agni sempat membuka mulutnya untuk menjawab, Rio sudah menyelanya terlebih dahulu, membuat Sivia gelagapan sendiri ditanya seperti itu.

“Eh, ngga sih. Gue Cuma heran aja, lo tiba-tiba mau gabung sama kita” elak Sivia sambil menunduk, Rio hanya membulatkan mulutnya kemudian kembali melanjutkan acara makannya yang tadi sempat tertunda. Agni memutar bola matanya, sedikit kesal dengan tingkah Rio yang terlalu blak-blakan dan masih belum bisa ramah itu.

Mata sipitnya memandang ketiga orang itu nanar. Tidak menyangka bahwa Rio akan kembali seperti dulu walaupun hanya didepan gadis manis itu. Alvin merasa lagi-lagi ia terlalu lambat melangkah dan ia sudah ketinggalan cukup jauh dari pemuda manis itu. akankah ia kembali kehilangan? Haruskah ia kembali merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya? Entahlah, disatu sisi Alvin bersyukur Rio kembali lagi seperti dulu, tapi disisi lain Alvin merasa takut. Takut kehilangan seseorang yang berharga untuknya, gadis manis itu. Gadis manis yang semula tidak ia anggap kehadirannya dalam masalah ini, malah menjelma menjadi seperti seorang malaikat yang ditakdirkan untuk merubah Rio atau bahkan merubah keduanya. Tinggal menunggu waktu yang menjawab semuanya.

Alvin tertunduk melihat Agni tertawa lepas didepannya, dan yang membuatnya tertawa itu bukan dirinya melainkan Rio –mantan- sahabatnya sendiri. Alvin mendesah berat, kenapa ini harus terjadi? Apakah ia dan Rio memang tidak ditakdirkan untuk kembali terikat dalam ikatan persahabatan? Apakah selamanya mereka akan terpisah oleh dinding yang bernama ‘perempuan’? Alvin hanya tersenyum miris membayangkannya, sepertinya memang itu yang ingin takdir katakan padanya, bahwa dirinya dan Rio tidak akan bisa menjadi sahabat –lagi-.

@_@
“Via, lo rese’ banget sih. Balikin buku gue” teriak Agni sambil mencoba menggapai buku catatan Kimianya. Sivia hanya tertawa lepas melihat usaha Agni untuk menggambil buku. Perlahan Sivia mundur menuju pintu kelas dan langkahnya terhenti ketika dirasakan tubuhnya menabrak sesuatu, tepatnya seseorang. Agni dan Sivia terhenti, kontan menatap orang itu dengan kompak. “Siniin buku gue” Agni langsung menarik bukunya ketika Sivia lengah barusan. Sivia hanya melengos kemudian keluar tanpa mempedulikan pandangan heran Agni dan orang itu. Agni mengalihkan pandangannya kemudian mengernyitkan dahinya heran ketika mendengar orang itu menghela napas panjang dan berat ketika memandangi kepergian Sivia yang tiba-tiba seperti itu. “Lo ngapain kesini? Kelas lo kan dibawah” pertanyaan Agni membuatnya tersentak kemudian menyadari maksud kedatangannya ke kelas Agni.

“Oh ini, gue mau nganterin absen keliling” ujarnya sambil memberikan secarik kertas pada Agni, Agni menerimanya sambil mengangguk-angguk. “Kalo gitu, gue duluan ya” pamitnya seketika pergi dari hadapan Agni, lagi-lagi Agni hanya menggangguk-angguk.

“Woy cewek stres. Lo gila ya manggut-manggut gitu” teriakan Rio itu kontan membuatnya menjadi pusat perhatian, Agni seketika sadar kemudian mengalihkan pandangannya pada Rio, menatap tajam pemuda manis itu. tanpa menghiraukan pandangan Agni, Rio kembali memasang earphone-nya.

“Dasar Monster” gerutu Agni sambil berjalan ke bangkunya masih menatap tajam Rio.

“Apa lo liat-liat”ceplos Rio menyadari pandangan Agni. Agni semakin menyipitkan matanya kemudian tersenyum licik, dengan cepat dilepaskannya earphone Rio kemudian menaruhnya disaku rok sekolahnya. Rio tersentak kemudian menatap Agni tajam, Agni hanya tersenyum menantang. “Balikin iPod gue woy. Lo hobi banget sih gangguin gue” ujar Rio mencoba menggapai iPodnya, Agni terus mengelak sambil menjulurkan lidahnya, membuat Rio semakin kesal.

Agni yang menyadari suasana sudah tidak baik lagi langsung melarikan dirinya keluar kelas, seketika Rio mengejarnya. Sepeninggal keduanya kelas itu berubah hening, seolah tak berpenghuni. Bagaimana tidak? Biasanya mereka memang bertengkar, tapi kali ini sepertinya ada yang aneh. Walaupun ribut, keduanya terlihat akrab. Mata sipit itu menatap pemandanan beberapa saat itu dengan nanar. Sepertinya dia memang kalah telak dari Rio, ia mendesah berat. Haruskah ini terulang? Satu hal yang menyakitkan itu. Alvin menggelengkan kepalanya, mencoba menghapus semua kemungkinan terburuk itu.


To be continued~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar