Selasa, 16 Agustus 2011

You're Mine #6th

“Dia….” Batin Cakka menatap lurus kearah pemuda yang duduk di CBR hitam itu. Ngga, itu ngga mungkin dia, pikiran Cakka seketika kacau, ia tidak sadar kalau ‘rombongan’nya sudah berada didepannya, sedangkan Cakka sendiri terhenti beberapa meter dari mereka sambil menatap pemuda itu.

Terlihat Agni celingak-celinguk mencari Cakka yang tadi berada disampingnya. Ketika berbalik, Agni mengernyitkan dahinya, sedikit bingung melihat Cakka yang terdiam menatap lurus kesatu arah, Agni mencoba mengikuti arah pandang Cakka dan terhenti pada satu titik. Gabriel. Agni mendengus kesal, kemudian menghampiri Cakka yang masih asyik dengan pikirannya.

“Kka…” panggil Agni, Cakka masih diposisi semula, terdiam sambil memandang Gabriel yang sedang bersalaman dengan Ray dan Alvin, sepertinya mereka sedang berkenalan. Agni semakin heran, ada apa dengan Cakka?, batinnya menatap Cakka dan Gabriel bergantian. Agni menghela napas panjang, “Kka, buruan. Kamu ngapain sih? Mereka udah pada nungguin tuh” Cakka tersentak dengan teguran keras Agni, kontan Cakka memandang kesebelahnya, tempat Agni berdiri, Cakka tersentak kaget dan sedikit terlonjak dari tempatnya, Agni semakin mengernyitkan dahinya.

Cakka mengelus dadanya perlahan, mencoba menenangkan sedikit rasa kagetnya melihat Agni yang sudah ada disampingnya, “Kamu ngagetin aja deh Ag” Cakka masih mengelus dadanya, membuat Agni semakin dipenuhi berbagai macam pertanyaan tentang sikap Cakka saat ini.

“Ayo buruan, mereka udah nungguin tuh” Agni yang kesal langsung saja menyeret Cakka yang sepertinya masih betah dengan posisinya semula, sedangkan Cakka sendiri, masih terdiam sambil menatap lurus kearah Gabriel, semakin lama semakin mendekat hingga akhirnya Cakka berada disamping Gabriel. Gabriel kontan menoleh kemudian tersenyum manis, Cakka semakin tertegun. Senyum itu, pikir Cakka. “CAKKA…!!! Kamu daritadi bengong aja sih, tuh si Gabriel ngajak kenalan” Agni sedikit menepuk bahu Cakka perlahan, Cakka menatapnya bingung kemudian beralih menatap Gabriel, menuruti Agni yang menunjuk Gabriel dengan dagunya.

“Gabriel” ujar Gabriel dengan senyuman khasnya.

“Cakka” balas Cakka singkat, terus memandangi wajah tampan Gabriel, wajah itu, senyum itu, bahkan gerak-geriknya sama persis, mungkinkah dia…?, pikir Cakka lagi.

“Kka, kamu beneran aneh deh. Daritadi ngelamun aja, kenapa sih?” tanya Agni lembut, saat itu mereka tinggal berdua, sedangkan teman-teman mereka yang lain sudah berangkat terlebih dahulu.

“Ngga. Aku ngga apa-apa Ag” jawab Cakka sambil berjalan menuju cagivanya, kemudian menyerahkan helm kepada Agni, Agni menghela napas panjang. Ngga mungkin kamu ngga apa-apa tapi aneh gitu Kka, batin Agni. “Buruan Ag, kita udah ketinggalan jauh tuh” perintah Cakka, sedikit membuat Agni tersentak. Agni mengangguk kecil kemudian naik keboncengan Cakka, seperti biasa belum sempat Agni menyamankan posisinya, Cakka sudah menjalankan cagivanya dengan kecepatan diatas rata-rata, membuat Agni hampir terjungkal ke belakang, untung saja dengan sigap Agni langsung menarik ransel Cakka, ternyata walaupun sudah cukup lama berhubungan, Agni masih belum berani memeluk Cakka, walaupun itu untuk keselamatannya sendiri.

***
Pikirannya kacau, ketika melihat Gabriel seketika kenangan buruk itu datang lagi. Mungkinkah Gabriel itu adalah seseorang yang berasal dari masa lalunya. Tapi itu tidak mungkin, kabar terakhir yang diterimanya adalah ‘dia’ sudah meninggal, tidak mungkin kalau Gabriel adalah ‘dia’. Bagaimana mungkin orang yang sudah meninggal bisa hidup lagi, dan menjalani keseharian seperti manusia biasa. Cakka berulang kali meyakinkan dirinya kalau Gabriel bukan ‘dia’, karena ‘dia’ sudah tenang disana. Cakka mencoba membandingkan Gabriel dengan ‘dia’, hampir semuanya sama, senyumnya, gaya bicaranya, bahkan gerak-geriknya tapi… tunggu dulu, Cakka kembali ingat perkataan Ray kalau Gabriel jago bermain footsal, that’s the point !!!, Gabriel menggilai sepak bola sedangkan ‘dia’? sangat amat menggilai basket, dua olahraga yang bertolak belakang, sepakbola menggunakan kaki sedangkan basket menggunakan tangan. Yah, Cakka mulai yakin kalau Gabriel bukan ‘dia’, walaupun hanya dari point kecil itu, setidaknya Cakka mulai yakin kalau Gabriel benar-benar bukan ‘dia’ yang tiba-tiba muncul dikehidupan baru Cakka.

Seulas senyum diperlihatkan Cakka sambil menatap langit yang berawan, terlihat dari bulan yang tidak terlihat karena tertutup awan hitam. Sepertinya akan hujan, pikir Cakka, perlahan senyumnya menghilang dan pikirannya berpindah pada orang lain, bukan lagi Gabriel melainkan gadisnya, Agni..!!! sedang apa gadis itu sekarang? Cakka sedikit merasa bersalah, karena hari ini sudah membuat Agni khawatir, selama dirumah Gabriel pun Cakka hanya terdiam, tidak seperti biasanya, selalu heboh pada apapun. Berulang kali Agni menanyakan keadaan Cakka tapi Cakka hanya tersenyum lemah dan menggeleng perlahan, jawaban yang membuat Agni sangat tidak puas.

Cakka mengambil BlackBerry-nya, mencoba menghubungi gadisnya itu. Terdengar nada tunggu cukup lama, Cakka mengernyit heran, tidak biasanya Agni lama mengangkat teleponnya. Lama, sampai akhirnya operator yang menjawabnya, Cakka hampir saja membanting BlackBerry-nya. Kesal karena sudah berkali-kali menghubungi Agni tapi masih saja operator sialan itu yang menjawab. Seketika ekspresi Cakka jadi aneh, ada rasa takut menyergapnya, takut yang berlebihan. Apalagi ketika ia mengingat kondisi Agni disekolah tadi siang, darah segar mengalir deras dari hidungnya. Cakka semakin cemas ketika mengingat itu. Cakka tersentak ketika dirasakan BlackBerry-nya bergetar. Tertera ‘One Message’, langsung saja jari Cakka mulai menjelejahi keypard(?) BlackBerry-nya, senyum manis Cakka muncul lagi setelah tau siapa yang mengiriminya SMS, siapa lagi kalau bukan Agni ?, setelah merasa cukup tenang, Cakka masuk ke kamarnya, membanting tubuhnya dibed, mencoba menghilangkan pikiran anehnya barusan dan perlahan ia mulai menjelajahi alam mimpinya.

***
Cakka menjalankan cagivanya dengan santai, tidak seperti biasanya. Entah mengapa hari ini Cakka seperti ingin merasakan bagaimana caranya menjalankan motor dengan baik dan benar, tidak dengan melanggar lalu lintas. Hari ini Cakka tidak menjemput Agni seperti biasanya, sebelum Cakka kerumah Agni, Agni terlebih dulu member tau Cakka kalau dia tidak masuk hari ini, alasannya sih ada urusan mendadak, ketika Cakka bertanya urusan apa, tiba-tiba pembicaraan mereka terhenti, entah karena apa. awalnya Cakka heran dan mulai berpikiran aneh tapi dengan segera Cakka menyingkirkan pikiran negatifnya itu. Mata Cakka menyipit melihat pemandangan beberapa meter didepannya, tiba-tiba Cakka menghentikan cagivanya, terlihat dua orang –CewekCowok- kelihatannya sedang adu mulut sesekali si cowok menunjuk wajah cewek yang menunduk ketakutan itu, Cakka mengernyit dahi, heran. Sepertinya dia kenal cewek itu dan benar saja, ketika cewek itu mendongak menatap cowok yang menunjuk dan memarahinya tadi, Cakka mengenalinya… itu Oik..!!! gadis masa lalunya, terlihat tangan cowok itu sudah melayang dan hampir saja mengenai pipi mulus Oik, sampai tiba-tiba…

“Jangan kasar sama cewek” celetuk Cakka menahan tangan Sion -cowok itu-, sebelum tangan Sion bersarang dipipi mulus Oik. Kontan saja Sion dan Oik terperanjat melihat kedatangan Cakka yang tiba-tiba itu.

“Bukan urusan lo” desis Sion menatap Cakka tajam, kemudian menarik tangannya yang masih dipegang Cakka dengan kasar. “Urusan kita belum selesai” sambungnya menatap Oik sangar, kemudian menatap Cakka tajam lagi, Cakka hanya tersenyum miring melihat cowok emosian didepannya ini, detik kemudian Sion meninggalkan dua orang itu dengan langkah besarnya.

Cakka menghela napas panjang sedangkan Oik?, ia masih tertunduk, terdengar isakan pelan dari Oik, Cakka mengalihkan pandangannya. Menatap gadis disampingnya yang semakin sesegukan itu. Perlahan Cakka menyentuh wajah Oik, sedikit mendongakan wajah gadis imut dihadapannya ini, biar bagaimana pun gadis imut ini pernah menjadi bagian dari dirinya. Cakka menyeka air mata yang mengalir dari mata indah Oik dengan lembut, Oik sendiri tertegun melihat apa yang Cakka lakukan, tidak bisa dipungkiri ada perasaan senang tiba-tiba merasuk ke dirinya. Cakka tersenyum manis, Oik membalasnya, walau yang terlihat hanya senyum perih menahan semua kesedihannya.

“Jangan nangis, lo tau kan gue ngga suka liat lo nangis” ujar Cakka lembut, Oik mengangguk perlahan sambil memegang kedua tangan Cakka yang masih ada dipipinya.

Lama keduanya saling terdiam masih diposisi semula, Oik memegangi tangan Cakka yang berada dipipinya, keduanya saling menatap dalam dan lama, seolah menghadirkan kembali kisah lama mereka yang sudah berlalu. Tanpa keduanya sadari sepasang mata memperhatikan itu, senyum licik terlihat dibibir gadis ini. sepertinya keinginannya selama ini akan tercapai, menghancurkan Agni secara perlahan.

“Dengan ini, lo bakal segera hancur. Agni Nubuwati” batinnya, senyum licik itu semakin terlihat diwajahnya. Setelah merasa puas, gadis ini meninggalkan tempatnya semula.

“Thanks Kka” ujar Oik, sepertinya keduanya sudah tersadar dari dunia mereka beberapa saat yang lalu, perlahan Oik mulai mengusap sisa air matanya, Cakka hanya tersenyum lalu mengangguk tapi detik kemudian Cakka terlihat bingung, dan sibuk sendiri. Oik menatapnya penuh tanya, seketika Cakka terhenti dan nyengir menatap Oik. “Kenapa Kka?” tanya Oik melihat keanehan Cakka barusan.

Cakka menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal, “Gue lupa kalo mau ke sekolah Ik. Mana sekarang udah jam 9 lagi, percuma kalo berangkat sekarang” cerocos Cakka, Oik tersenyum geli melihatnya, tapi seketika senyumnya lenyap, Oik kembali terunduk.

“Sorry Kka, gara-gara gue lo jadi telat lagi” ucap Oik pelan, Cakka menatap Oik sambil menaikkan sebelah alisnya.

“Hehehe, biasa aja kali Ik. Toh juga bukan salah lo kok” elak Cakka, menatap BlackBerry-nya yang sudah hampir lowbath gara-gara SMS dan telepon dari kedua sahabatnya itu, Cakka hanya tersenyum geli melihatnya. “Kalo gitu gue duluan ya Ik” pamit Cakka, Oik mendongak kemudian mengangguk. Cakka sedikit berlari menuju cagiva yang tadi diparkirkannya sembarangan.

“Thanks ya Kka” teriak Oik, Cakka berbalik sejenak kemudian mengacungkan ibu jarinya sambil tersenyum.

***
“Eh sarap, kemana aja lo? Kenapa kaga masuk? Agni juga sama kaya’ lo, kalian berdua janjian ya. Kok ngga ngajak-ngajak sih” cerocos Ray ketika mereka bertiga sedang berada di ‘Kka’s World’, Cakka melongo parah melihat cerocosan sahabatnya itu sedangkan Alvin? Hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah konyol Ray. Cakka seketika tersadar kemudian menoyor kepala Ray dengan buku menu yang dipegangnya tadi.

“Sembarangan aja lo, gue telat tau. Dan Agni ngga masuk karna ada urusan bukan janjian sama gue. Ngomong asal lo Ray” jawab Cakka panjang lebar, Ray nyengir sambil menunjukkan jari tengah dan telunjuknya.

Alvin menyeruput Cappucino Ice dihadapannya kemudian memandangi Cakka, Cakka merasa risih dengan tatapan Alvin itu, Cakka mencoba mengacuhkan tatapan Alvin tapi kemanapun Cakka bergerak, Alvin selalu menatapnya. Seolah meminta penjelasan lebih lanjut dari penjelasan aneh Cakka barusan.

“Lo kenapa sih Vin? Gitu banget ngeliatinnya” ceplos Cakka, Alvin semakin menyipitkan mata sipitnya. Cakka merasa kalau ia sedikit kesulitan menelan ludahnya ketika dipandangi seperti itu.

“Masih ngga mau cerita lo. Ini udah ketiga kalinya lo bolos tanpa alasan yang jelas Kka”ujar Alvin dingin, Cakka dan Ray yang mendengar itu sedikit bergidik ngeri, sepertinya Alvin mulai merasakan ada yang tidak beres dari Cakka, Cakka menghela napas berat dan panjang, mungkin ini saatnya, pikir Cakka sambil menatap kedua temannya bergantian.

“Oke gue cerita, tapi ngga disini” ujar Cakka beranjak dari tempatnya kemudian melangkah menuju studio musicnya, diikuti oleh Ray dan Alvin dibelakangnya.

Ketiga terdiam didalam studio music yang kedap suara itu, larut dalam pikiran masing-masing. Ray dan Alvin masih menunggu Cakka membuka mulutnya untuk memulai cerita kelamnya sedangkan Cakka sendiri?, masih mencoba menstabilkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak kencang, apalagi sebentar lagi ia akan sejenak kembali ke masa lalunya, bukan masa lalu yang indah melainkan masa lalunya yang kelam. Cakka menghela napas panjang, kemudian mengalihkan pandangannya kepada kedua sahabatnya ini, Cakka sudah siap kalau nanti keduanya memutuskan untuk menjauhi Cakka, setelah mereka mendengar cerita kelam Cakka.

*flashbackON*
Adu mulut menjadi backsound rumah ini, teriak demi teriakan terdengar saling bersautan. Pertengkaran Ayah dan anak ini memang sudah menjadi hal biasa oleh tetangga sekitar, hampir…. bukan hampir tapi memang setiap hari mereka mendengar pertengkaran atau teriakan antara anak dan ayah itu. Sebenarnya mereka –para tetangga- penasaran, apa yang membuat keluarga itu suka sekali saling berteriak dan bertengkar, ternyata rumah mewah dan harta yang melimpah tidak membuat keluarga itu hidup rukun. Setiap hari selalu dihiasi dengan teriakan kecuali kalau sang ayah sedang dinas di luar kota atau di luar negeri, maka dengan sekejap rumah itu menjadi sepi dan sunyi lebih sepi daripada sebuah pemakaman. Keluarga itu memang terlihat jarang bergaul dengan warga sekitar, mungkin karena penghuninya malu, karena secara tidak langsung sudah mengganggu ketertiban kompleks perumahan elite itu.

“Mau kemana kamu?” tanya sang ayah, pada putra satu-satunya itu, mungkin itu yang menjadi alasan mengapa ia menjadi manja, keras kepala dan selalu seenaknya, tidak pernah memikirkan perasaan orang lain.

“Keluar, males banget dirumah yang udah kaya’ penjara” jawabnya santai, helm fullface berada ditangan kirinya sedangkan tangan kanannya sibuk memainkan kunci cagivanya. Sang ayah menatapnya tajam, Cakka –si anak- hanya menatapnya malas.

“Cakka..!!! sampai kapan kamu seperti ini terus, menghabiskan uang untuk hal yang ngga berguna. berfoya-foya, ikut balapan ngga jelas, ngerokok. Mau jadi apa kamu?” bentak sang ayah, sekali lagi Cakka hanya menatap ayahnya malas sambil menggosok telinganya, merasa bahwa omongan ayahnya itu sangat tidak penting.

“Brisik banget sih Pa. Lagian Cakka juga gunain uang itu buat main sama temen-temen, Cuma sedikit Pa. tenang aja deh, uang Papa ngga bakal abis” tanggapnya santai, sang ayah menatapnya nanar, emosinya sudah memuncak mendengar perkataan anak semata wayangnya itu. Tangan Papanya sudah terangkat, bersiap untuk member pelajaran pada anaknya itu, Cakka hanya tersenyum miring membuat Papanya semakin emosi dan…

“Stop Pa” terdengar suara teriakan seorang wanita, ya itu Mama Cakka yang sedang hamil. Dengan gerakan cepat Mama Cakka menahan gerakan suaminya agar tidak menampar ataupun memukul Cakka, sebenarnya inilah yang sangat disayangkan, Cakka menjadi sangat manja karena tidak pernah merasa dipukul atau pun diberi pelajaran karena setiap kali Papanya berniat melakukan itu selalu saja Mamanya datang membela Cakka.

“Kenapa Ma? Kenapa Mama selalu ngelarang Papa buat ngasih anak ini pelajaran. Dia jadi ngelunjak sekarang” ujar Papa Cakka setengah berteriak pada istrinya sambil sesekali menunjuk kearah Cakka yang hanya tersenyum miring.

“Udahlah Pa, dengan cara itu juga ngga bakal bisa buat Cakka berubah” ucap Mama Cakka perlahan, mencoba menghindari terjadinya kekerasan dalam keluarganya.

“Tapi Ma…” belum sempat Papa Cakka menyelesaikan omongannya, Cakka langsung menyela.

“Kalo Papa sama Mama mau ngobrol, silakan aja. Cakka keluar dulu ya, udah ditungguin” ujar Cakka santai kemudian melenggang pergi dari rumahnya.

“CAKKA…!!! CAKKA…!!!” panggilan atau tepatnya teriakan itu tidak dihiraukan Cakka, ia masih saja melenggang dengan mulusnya keluar dari rumah mewahnya. Menstarter cagivanya kemudian melesat dengan kecepatan tinggi.

***
“Kenapa lo Kka? Suntuk amat” ujar seorang pemuda berperawakan tinggi dengan kulit khas Indonesianya, senyum manis selalu menghiasi wajah tampannya.

“Iya Kka, kamu kenapa sih? Suntuk gitu mukanya” sambung seseorang, kali ini gadis imut yang angkat bicara. Oik, gadis yang saat itu berstatus pacar Cakka.

“Ngga. Lagi BT aja gue. Gila aja ya, bokap gue ngoceh mulu kalo dirumah. Mending dia keluar kota kek atau kemana gitu. Bosen gue diceramahin tiap hari” curhat Cakka kesal sambil sesekali meminum softdrink ditangannya, temannya itu hanya menepuk bahunya perlahan.

“Hahaha, pantes aja muka lo kusut banget. Udah kaya’ cucian lecek tau ngga” ceplosnya sambil tertawa memagangi perutnya, Cakka menatapnya sinis sedangkan Oik hanya tersenyum tipis melihat kedua pemuda dihadapannya ini, pemuda itu mencoba menahan tawanya tapi selalu gagal. Ia menarik napas lumayan panjang, mencoba mentralisir rasa gelinya barusan. “Sabar aja Kka, namanya juga bapak-bapak” ceplos pemuda itu santai, sambil mengisap rokok yang sedari tadi menemani mereka berdua.

“Lo mah enak. Bokap lo ngga kaya’ gitu” gerutu Cakka sambil mengerucutkan bibirnya, temannya itu hanya tertawa geli melihatnya. “Eh iya Yo, hari ini turun ngga?” tanya Cakka pada temannya itu, Rio. Rio terlihat mengingat sesuatu kemudian mengangguk antusias, matanya berbinar.

“Ada Kka, gue juga ikut turun” jawab Rio semangat, sepertinya ia sudah tidak sabar lagi turun dalam pertandingan balap jalanan mereka. Cakka tersenyum simpul melihat semangat sahabatnya itu.

Ketiganya larut dalam pembicaraan mereka, sesekali mereka tertawa bersama kadang juga menggoda cewek yang kebetulan lewat didepan mereka. Kebiasaan mereka tiap malam, ngetrack tanpa ada pertanggungjawaban dari pihak penyelenggara, yang artinya semua resiko ditanggung sendiri. Tawa Cakka seketika terhenti, entah mengapa ia berhenti tertawa ketika memandangi wajah Rio. Ada rasa aneh menyergapnya. Rio mengernyitkan dahinya kemudian menatap Cakka seolah bertanya ‘kenapa?’ tapi Cakka hanya menggeleng, seolah menepis dugaan perasaan anehnya itu. Terlihat seseorang menghampiri mereka, memberitahu bahwa mereka –Cakka dan Rio- harus bersiap untuk pertandingan mereka. Kedua kompak mengangguk kemudian menuju ke kendaraan masing-masing, Cakka dengan cagivanya dan Rio dengan CBR merahnya.

“Good luck ya Kka” ujar Oik sambil tersenyum manis, Cakka membalasnya kemudian memasang helm fullfacenya sebelum ke arena balap itu.

Semua yang bertanding malam itu sudah siap ditempat masing-masing, termasuk Cakka dan Rio, keduanya dipisah oleh satu motor. Terlihat seorang gadis membawa bendera berwarna merah terang berjalan ketengah lintasan, mengangkat bendera itu perlahan dan kemudian menjatuhkannya. Kontan semuanya melajukan motor masing-masing, memperebutkan posisi pertama.

Beberapa dari mereka terlihat melajukan motornya dengan kecepatan yang gila-gilaan termasuk Cakka dan Rio, keduanya kadang saling melempar senyum mengejek satu sama lain, saling salib-menyalib antar keduanya. Seolah pembalap lain hanya sekedar ‘hiasan’ mereka berdua. Beberapa meter sebelum akhirnya menyentuh garis finish, dengan posisi semula Cakka dan Rio yang terdepan, tepat ditikungan terakhir. Tiba-tiba terlihat sinar yang menyilaukan mata, kontan saja Rio yang berada disisi jalan sebelah kanan langsung membanting stir(?) kearah kanan, untuk menghindari mobil yang datang tepat searah dengannya. Tapi naas, bukannya menghindar, Rio malah jatuh ke jurang yang terletak tepat disebelah kanannya sedangkan Cakka?, dia yang melihat kejadian jatuhnya Rio itu hanya terdiam mematung diatas cagivanya, tidak berani menolong. Entah pikiran darimana, Cakka lebih memilih meninggalkan tempat itu daripada mengetahui kondisi Rio lebih lanjut. Tidak lama setelah Cakka meninggalkan tempat itu, semua yang menyaksikan dan mengetahui adanya kecelakaan itu langsung mencoba mencari Rio, tapi sayang, kabar yang didapat malah Rio tidak ditemukan karena motornya yang meledak saat itu juga.

Cakka tiba dirumahnya dengan pandangan kosong, kejadian beberapa saat yang lalu masih terekam jelas diingatannya, anehnya baru sekarang Cakka menyesali perbuatan bodohnya itu. Mengapa saat itu dia lebih memilih pergi daripada melihat keadaan sahabatnya lebih lanjut?. Cakka meringkuk dikamarnya yang gelap, memeluk lututnya sambil menatap kearah sekitarnya, ia merasa ada yang mengikuti dirinya tapi ketika ia berbalik, hanya angin yang didapatnya. Sorot mata Cakka memancarkan ketakutan yang teramat, bayang-bayang Rio sebelum akhirnya motor itu meledak masih sangat terekam jelas diingatan Cakka, bagaimana ekspresi Rio seolah meminta pertolongannya tapi ia malah pergi meninggalkan tempat kejadian itu.

Sejak kejadian itu Cakka berubah aneh, dia tidak lagi suka keluar malam walaupun hanya sekedar berkumpul dengan teman-temannya, dia mencoba melupakan semuanya, dan tentu saja perubahan Cakka itu disambut suka cita oleh kedua orang tuanya. Mereka juga tidak bertanya lebih lanjut ketika Cakka mengajak pindah, kedua orang tuanya langsung saja setuju, dan mulai saat itu Cakka berubah, menjadi Cakka yang sekarang. Cakka, sahabat Ray dan Alvin, Cakka yang pacarnya Agni dan Cakka yang terkenal hampir dipelosok Kusuma Bangsa karena sikapnya yang easy going.
*flashbackOFF*

Ray dan Alvin kontan terdiam, tidak menyangka bahwa masa lalu Cakka seperti itu. Selama ini mereka mengira Cakka punya masa lalu yang baik, tidak kelam seperti itu. Cakka menunduk, siap menerima apapun yang akan dilakukan kedua sahabatnya itu, ia sudah pasrah kalau Ray dan Alvin lebih memilih menjauhinya yang seorang ‘pembunuh’ itu.

“Sekarang lo berdua udah tau semuanya. Terserah lo berdua masih mau bertemen atau ngga sama gue” ujar Cakka perlahan sambil menatap kedua sahabatnya itu bergantian. Ray dan Alvin saling berpandangan sejenak kemudian menghela napas panjang.

“Hhhh, terlalu picik kalo kita berdua jauhin lo Cuma gara-gara masa lalu lo Kka. Didunia ini ngga ada yang sempurna, termasuk lo. Kalo menurut gue sih, wajar aja seseorang punya masa lalu sekelam apapun itu, yang penting adalah sekarang dan masa depan. Jangan jadiin masa lalu itu sebagai penghalang lo Kka tapi berusahalah jadiin masa lau lo itu sebagai batu loncatan supaya lo lebih baik. Lagian itu semua kecelakaan, bukan sepenuhnya salah lo” kata-kata itu meluncur dengan lancarnya dari bibir seorang Muhammad Raynald Prasetya, keduanya –Cakka dan Alvin- melongo parah mendengar ucapan dari sahabat mereka yang kadang ‘lola’ itu, tapi beberapa saat kemudian senyum manis terpancar dari wajah tampan Cakka. Dia berterima kasih karena kedua sahabatnya ini mau menerimanya apa adanya, terlepas dari masa lalunya yang kelam.

“Agni udah tau Kka?” tanya Alvin langsung, seketika menghilangkan senyum manis Cakka barusan, Cakka hanya menunduk lalu menggeleng lemah.

“Belom, gue belom siap ngasih tau Agni. Gue masih belom siap kalo seandainya tiba-tiba dia ngejauhin gue gara-gara masalah ini” ucap Cakka perlahan, Alvin hanya mengangguk mengerti.

“Trus kenapa lo bolos Kka? Alesannya ngga jelas lagi” sambung Alvin lagi, menatap Cakka penuh tanya, Cakka kembali menghela napasnya.

“Gue ketemu mantan gue” jawab Cakka singkat, Ray dan Alvin mengernyitkan dahi mereka bersamaan. Cakka punya mantan? Bukannya Agni first lovenya, mungkin seperti itu yang terlintas dipikiran Ray dan Alvin saat itu. “Agni bukan first love gue kaya’ yang lo bilang waktu kita camping Ray” ujar Cakka sambil menatap Ray, Ray hanya nyengir. “Tadi, waktu gue mau berangkat sekolah, gue ngeliat dia sama pacarnya lagi berantem. Awalnya gue diem aja tapi tiba-tiba cowoknya mau nampar mantan gue itu, ya.. gue ngga bisa dong liat cewek mau disakitin kaya’ gitu. Yah.. tu cowok ngga terima, tapi untung aja dia langsung pergi ninggalin kita berdua, gue sempet tanya-tanya sedikit sama mantan gue itu. Sekedar ngobrol-ngobrol biasa aja gitu, dan guenya keasyikan sampe lupa waktu dan daripada sekolah trus dihukum, mending gue kesini deh” jelas Cakka panjang lebar, Ray hanya menganggukkan kepalanya sedangkan Alvin, seolah bernapas lega setelah tau alasan Cakka yang sebenarnya.

***
Gadis manis ini terdiam dibalkon lantai dua rumahnya, tepat berada dikamarnya yang bernuansa soft blue itu. Tempat itu menjadi salah satu tempat favoritnya karena disana, ayahnya menyediakan teropong bintang, salah satu hobbynya ketika sedang suntuk atau ingin sendiri. Mengamati atau hanya sekedar melihat, karena dia sendiri pun tidak terlalu mengerti tentang bintang. Beberapa kali gadis manis ini mendesah, pikirannya kacau, saat ini semua seolah menjauh darinya. Bintang yang bertaburan dilangit pun diabaikannya, sekarang ia hanya menatap lurus jalanan kompleks depan rumahnya yang sudah sepi, wajar saja jam dinding doraemon kesayangannya itu sudah menunjukkan pukul 21.35 WIB. Sudah cukup malam untuk mengistirahatkan diri dari segala kepenatan yang terjadi, tapi semuanya berbanding terbalik dengan gadis manis ini, ia malah terdiam, terus menatap kosong semua yang dihadapannya, sambil sesekali mendesah pelan namun berat.

Saat ini hanya satu yang ada dipikirannya. Kanker otak, penyakit ganas yang menyerang otak manusia, otak yang berfungsi sebagai pusat dari segala system kerja gerak tubuh manusia. Penyakit mematikan yang selama ini hanya diketahuinya melalui bacaan atau televisi sekarang malah sedang bersarang diotaknya. Suatu hal yang tidak pernah dipikirkannya walaupun hanya didalam mimpi. Ketika mendengar ada penyakit mematikan itu, gadis manis ini merasa kakinya lemas, seolah tidak bisa menahan bobot tubuhnya yang terbilang kurus, seketika ia terduduk dilantai rumah sakit tempat dia memeriksa keadaan ‘aneh’ yang dirasakannya, air mata seketika mengaliri pipi chubby gadis manis ini tanpa bisa dicegahnya dan dihentikan, bagai sungai kecil yang mengalir deras tanpa hambatan, sedangkan sang bunda, saat itu hanya menangis dalam diam sambil berdoa segala yang terbaik untuk putri semata wayangnya itu.

Setetes air mata itu jatuh dengan mulusnya dari mata indah gadis manis ini, ia masih belum bisa menerima bahwa ia mengalami semua itu, semua hal yang biasa dilihatnya ditelevisi atau dibacaan. Penyakit itu, haruskah ia marah? Tapi untuk apa?, ia yakin bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan diatas batas kemampuan umat-Nya, begitupun dengannya. Perlahan diusapnya air mata yang menetes itu, ia mencoba kembali melakukan hal yang membuat orang menyukainya, tersenyum manis dan tulus. Ya, senyum itulah yang menjadi daya tariknya, ia tidak akan membiarkan senyum itu hilang hanya karena penyakit mematikan itu sekarang bersarang diotaknya, ia harus berusaha untuk melawan walaupun akhirnya ia akan kalah. Lebih baik mati dalam pertempuran daripada mati sebelum berperang kan?, dan perlahan senyum manis dan tulus khasnya itu tergambar indah diwajah cantiknya, membuatnya semakin mempesona. Ia bertekad untuk tidak lagi menyia-nyiakan waktu dan mencoba memberikan yang terbaik untuk sekitarnya.

***
“Ag, kok pucet? Sakit ya” tanya Cakka menjalani rutinitasnya dipagi hari, menjemput Agni pergi sekolah. Agni sedikit gelagapan ditanya seperti itu, detik kemudian dia tersenyum.

“Ngga kok. Udah ah buruan. Ntar telat lagi Kka” perintah Agni, menyambut helm yang tadi diberikan Cakka. Cakka sedikit bingung kemudian mengangkat bahu dan mulai menstarter cagivanya.

Sunyi, satu kata yang menggambarkan perjalanan Cakka san Agni pagi ini, tidak seperti biasanya keduanya saling terdiam, larut dalam pikiran dan fantasi masing-masing. Tanpa mereka sadari mereka sudah memasuki daerah parkir Kusuma Bangsa, Agni seketika turun dari boncengan Cakka dan mengembalikan helm Cakka. Cakka memperhatikan Agni yang sedang merapikan rambutnya, ada yang berbeda dari Agni pagi itu. wajah Agni terlihat lebih pucat dari biasanya, sendu dan tatapan matanya berubah sayu. Cakka tidak menangkap sinar semangat dimata gadisnya itu seperti biasa, sinar itu seakan hilang. Cakka masih menikmati atau lebih tepatnya mengamati pemandangan indah dihadapannya, hingga mereka dikejutkan oleh kedatangan seseorang. Keduanya kontan berbalik…

“GABRIEL…!!!” ujar Cakka dan Agni serentak, cukup terkejut dengan kedatangan makhluk manis yang satu itu, sedangkan sang tersangka hanya nyengir yang mampu membuat GabFC seketika lemas dan pingsan.

“Lebay dah reaksi lo berdua. Ampe treak-treak gitu” ceplos Gabriel sambil berkaca ria dispion Cakka, merapikan letak rambutnya yang acak-acakan itu menjadi semakin tidak terlihat rapi.

“Sendiri Yel?” tanya Cakka, mereka sudah berjalan menuju kelas. Gabriel hanya mengangguk kemudian menatap Agni disebelahnya.

“Lo sakit Ag?” tanya Gabriel sambil memeriksa kening Agni dengan tangannya tanpa mempedulikan Cakka yang berada disebelahnya, Agni menepis tangan Gabriel perlahan kemudian menggeleng. Sedangkan Cakka? Hanya menatap itu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Bagaimana tidak? Dihadapannya sendiri Gabriel berani menyentuh Agni yang notabenenya adalah pacar Cakka, walaupun Cuma dikening dan untuk memastikan keadaan Agni. Tapi siapapun yang berada diposisi Cakka, dia pasti akan mendukung jika tiba-tiba Cakka marah karena pacarnya disentuh sembarangan oleh orang lain.

“Kita duluan ya Yel” ceplos Cakka sambil menarik tangan Agni menjauh dari makhluk satu itu, Agni sendiri yang ditarik sedikit sulit untuk menyamakan langkah Cakka yang penjang itu. Gabriel hanya tersenyum penuh arti menatap kejadian beberapa saat didepannya barusan.

“Aduh…Kka, lepas..!!! Sakit nih, kamu tarik-tarik gini” ujar Agni, masih mengikuti langkah panjang Cakka, merasa sudah lumayan jauh dari Gabriel, Cakka melepaskan pegangannya dan berbalik menatap Agni yang meringis, meratapi nasib tangannya yang memerah. Cakka terbelalak melihat ‘hasil karya’nya itu.

“Eh.. aduh sorry Ag, aku ngga sengaja. Sumpah deh beneran. Yah, jadi merah deh, kita ke UKS aja deh ya” ajak Cakka, kelabakan sendiri melihat tangan Agni yang memerah akibat tarikannya barusan tapi Agni menahannya.

“Ngga usah Kka, lagian bentar lagi juga bel” ujar Agni, belum sempat Cakka membuka mulutnya untuk membantah, Agni sudah menarik Cakka untuk segera masuk ke kelas mereka.

***
“Agni mana Shill?” tanya Cakka, menatap kursi disebelah Shilla yang tak berpenghuni. Shilla yang awalnya sibuk dengan novelnya, mengalihkan pandangannya pada Cakka, kemudian menutup novel dan mendesah pelan.

“Agni di UKS” jawab Shilla, kontan Cakka melotot lebar mendengarnya. “Tadi tiba-tiba Agni pucat, trus kaya’ mau muntah gitu. Tapi ngga muntah apapun, badannya juga panas. Keadaannya persis kaya’ di bus waktu kita camping kemaren” jelas Shilla menunduk, tidak tega menceritakan keadaan sahabatnya itu.

Cakka yang mendengar itu seketika lemas, perasaan aneh itu datang lagi. Setiap ia tau keadaan Agni seperti ini, pasti Cakka merasakan perasaan itu, seperti ada benda besar yang mengganjal hatinya. Sejenis sesak, tapi bukan itu intinya. Sekarang pikiran Cakka terfokus pada gadisnya itu, apakah kecurigaannya selama ini menjadi nyata. Kecurigaan bahwa Agni TIDAK baik-baik saja. Jika mengingat itu Cakka jadi semakin merasakan ada yang mengganjal pada diri gadisnya itu. ada apa dengan Agni?, batin Cakka.

“Sankyu ya Shill” ujar Cakka meninggalkan Shilla menuju UKS, memastikan keadaan gadisnya itu.

Selama menuju UKS, pikiran Cakka dipenuhi dengan bagaimana keadaan Agni saat ini. apakah gadisnya itu baik-baik saja atau malah sebaliknya?. Berulang kali pikiran buruk itu menghampiri Cakka, tapi berulang kali pula ditepisnya. Berusaha berpikiran positif untuk keadaan gadisnya saat itu. sebelum memasuki UKS, Cakka mendesah perlahan kemudian meyakinkan dirinya. Cakka tertegun menatap pemandangan didepannya, seketika badannya kaku, bibirnya kelu walau hanya mengeluarkan desahan sekalipun, seketika Cakka menahan napas menatapnya, lama ia tidak berkedip memandangi pemandangan itu, seolah berharap itu semua hanya khayalan atau mimpi yang tidak menyenangkan baginya.



To be Continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar