Selasa, 16 Agustus 2011

Loving Girl #6th

“Itu kan….” Pikir Agni menatap kearah benda yang ditutup kain hitam itu.

“Ayo Ag, ngapain masih disana?” ajak Alvin yang ternyata sudah berada didepan pintu rumahnya, Agni tersentak langsung menatap Alvin yang berada tiga meter didepannya, Agni berjalan menuju Alvin, masih terlihat bahwa Agni penasaran dengan apa yang dilihatnya barusan. Apakah sama dengan yang ada dipikirannya?

@_@
Gabriel mendesah perlahan kemudian tersenyum miris, menatap gadis yang berada beberapa meter didepannya. Terlihat gadis itu tersenyum manis dengan HandPhone yang berada ditelinganya, sesekali gadis yang dilihat Gabriel itu tertawa, entah menertawakan apa. Sampai sekarang, terhitung sudah hampir seminggu mereka putus, Gabriel masih belum mengerti dimana letak kesalahannya hingga gadis itu memutuskan hubungan mereka secara tiba-tiba. Gabriel kembali mendesah, kembali menatap objek penglihatannya tadi. Gabriel sedikit terbelalak ketika melihat seorang pemuda? Bukan, itu tidak pantas disebut pemuda tetapi pria, terlihat dari wajahnya yang mungkin sudah berumur lebih dari 40 tahun, tangan pria itu bertengger manis merangkul lembut pinggang gadis itu, membuat Gabriel menatapnya tidak percaya. Apakah itu alasan gadis itu memutuskan hubungan mereka?, pikir Gabriel masih belum percaya apa yang dilihatnya beberapa saat lalu, ditambah kecupan mesra sang pria dipipi kanan gadis itu membuat Gabriel menggelengkan kepalanya perlahan.

Gabriel menunduk, kemudian berbalik tapi seketika ia mengernyitkan dahinya. Gabriel melihat flat shoes hitam dihadapannya, perlahan ia mendongakkan kepalanya, mencari tau siapa yang berdiri dihapannya?. Ia tersentak, seorang gadis putih, bermata sipit dengan senyum dihiasi lesung pipi kecil itu menyapanya, membuat Gabriel tertegun, menatap pemandangan indah dihadapannya. Lama keduanya saling terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.

“Kak Gabriel” tegur gadis itu, menyadarkan dan mengembalikan Gabriel kedunia nyata. Gabriel tersentak, kontan mengelus dadanya perlahan, mencoba menetralisir rasa terkejutnya sedangkan sang gadis terkekeh kecil melihat ulahnya yang membuat Gabriel terkejut seperti itu. “Ngapain?” sambungnya sambil tersenyum kecil.

“Ngagetin aja lo Vi” ujar Gabriel pada Sivia –gadis itu-, masih dengan mengelus dadanya. Gabriel menghela napas perlahan. “Gue?” Gabriel seolah meyakinkan pertanyaan Sivia barusan, gadis itu mengangguk mantap. “Ngga ngapa-ngapain” elak Gabriel mulai berjalan menjauhi tempat itu. Sivia yang tidak percaya mencoba melihat kearah tempat yang dilihat Gabriel barusan, tapi hasilnya nihil, tidak ada apa-apa disana. Sivia mengangkat bahunya kemudian menyusul Gabriel yang sudah berjalan duluan. “Lo sendiri kenapa bisa disini Vi?” tanya Gabriel ketika Sivia sudah bisa mensejajarkan langkahnya.

“Oh, tadi gue dari mini market depan, gue ngeliat lo kak. Makanya gue samperin” jelas Sivia, Gabriel hanya mengangguk mengerti. “Lo kok bisa disini sih kak?, rumah lo kan lumayan jauh dari sini?” tanya Sivia, sedikit curiga dengan keberadaan Gabriel disekitar kompleks rumahnya, Gabriel terdiam, terlihat sedang mencari alasan yang tepat.

“Ngga sengaja lewat” jawab Gabriel singkat Sivia mengernyitkan dahinya, tidak puas dengan jawaban Gabriel tapi Sivia hanya mengangkat bahunya, toh tidak ada urusan dengannya, pikir Sivia.

“Gue duluan ya Kak” pamit Sivia, belum jauh Sivia melangkahkan kakinya, ia merasa tangannya ditahan seseorang. Sivia berbalik kemudian menatap Gabriel yang menahan tangannya seolah bertanya, ‘ada apa?’, sedangkan Gabriel? Ia merutuki kebodohannya, ia tidak tau mengapa tadi tangannya tiba-tiba menahan Sivia untuk pergi. Gabriel menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal.

“Em, gue anterin deh ya?” tawar Gabriel, hanya itu yang terlintas dipikirannya saat ini. Sivia terlihat berpikir, detik kemudian gadis itu mengangguk sambil tersenyum manis, Gabriel membalasnya kemudian menarik tangan Sivia yang daritadi belum dilepasnya. Sivia menatap tangannya yang dipegang oleh Gabriel, seketika ia merasa jantungnya bekerja diluar batas normal dan merasa bahwa pipinya memanas, yang pasti sekarang sudah berubah warna menjadi kemerahan.

@_@
“Eh… Eh… Monster, lo ngapain sih narik-narik gue. Woy lepasin, gue bisa sendiri” cerocos Agni sambil mencoba melepaskan tangannya dari genggaman, lebih tepatnya cengkraman Rio, bagaimana Agni tidak berontak? Ia saat itu sedang asyik dengan novel dan iPodnya, tiba-tiba monster itu datang dan menyeret paksa Agni untuk mengikuti langkahnya.

Selama perjalanan menuju tempat yang dimaksud Rio, Agni selalu berontak, kontan keduanya menjadi bahan tontonan gratis, jarang-jarang seorang Mario Stevano Aditya Haling bertindak seperti itu dan perbuatan Rio itu tidak sedikit membuat orang, khususnya siswi merasa envy atau setidaknya memandang Agni dengan pandangan membunuh. Rio melenggang mulus menyusuri koridor yang ramai akibat ulah ajaibnya saat itu, disisi koridor banyak siswa yang rela melepaskan kegiatan mereka untuk melihat kejadian langka yang dilakukan salah satu Most Wanted itu. Bahkan, para siswa yang main basket menghentikan permainan mereka, yang awalnya berniat menshoot bola malah berdiri bak patung selamat datang.

“Masuk” suruh Rio sambil membuka pintu mobil sport silvernya, Agni mengernyitkan dahinya, menatap Rio heran.

“Mau ngapain?” tanya Agni polos, Rio berdecak kesal kemudian menatap Agni tajam. Agni sedikit bergidik ngeri melihat tatapan Rio itu, akhirnya dengan pasrah Agni masuk ke mobil sport silver itu. Rio tersenyum tipis melihat Agni yang menggerutu sambil melipat tangannya didepan dada. Rio berjalan menuju sisi mobil yang satunya, dan mulai menjalankan mobil sport itu keluar sekolah.

Hening menghiasi perjalanan Agni dan Rio, kedua terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya alunan nada indah yang terdengar dimobil Rio saat ini, keduanya lebih mementingkan gengsi masing-masing daripada sekedar membuka suara menghilangkan kesunyian diantara mereka. Rio menghentikan laju mobilnya, Agni menatap gedung yang berdiri kokoh didepannya.

‘Mini Market? Ngapain nih Monster ngajak kesini’ batin Agni bingung kemudian mengalihkan pandangannya menuju Rio yang sudah membuka seat beltnya. “Eh, lo mau kemana?” tanya Agni, tanpa sadar memegang tangan Rio ketika pemuda itu akan membuka pintu kemudinya, Rio menatap tangan Agni yang memegang tangannya, Agni jadi gelagapan sendiri.

“Tunggu disini, gue Cuma bentar” entah itu sebuah perkataan biasa atau sebuah perintah, yang pasti pikiran Agni yang semula berniat kabur dari Rio seketika hilang, gadis manis ini sekarang malah duduk manis sambil menatap punggung Rio yang perlahan hilang dibalik pintu Mini Market itu.

Agni disibukkan dengan iPhone-nya saat Rio kembali dari Mini Market itu, terlihat pemuda itu membawa 4 (empat) kantong yang –sepertinya- berisi beberapa cemilan dan memasukkan kantong-kantong itu ke bangku belakang mobilnya. Agni semakin mengernyitkan dahinya, heran dengan semua yang dilakukan Rio. Rio sendiri mengabaikan tatapan Agni yang penuh tanya itu, ia mulai menjalankan mobil sport silver itu menjauhi Mini Market itu.

Agni sedikit menganga menatap keadaan sekitarnya, didepannya berdiri kokoh sebuah gedung yang sudah tidak terurus lagi, terlihat dari bagian dinding gedung itu sudah berubah warna tapi walaupun begitu, tidak mengurangi ke‘asli’an gedung tua dihadapannya itu. Agni mengalihkan pandangannya menuju ke sekitar gedung tua itu, terlihat ilalang tumbuh dengan liarnya dan mungkin tingginya sudah berkisar dada orang dewasa. Agni berdecak kagum, walaupun kondisi disekitar tempat itu masuk kategori buruk tapi itu tidak mengurangi kesan indahnya. Indah? Setiap orang punya pandangan sendiri dalam kata ‘indah’, dan Agni mengartikan tempat itu dalam kategori indah. Indah yang natural. Kesan alamnya masih kental terasa, udaranya juga sejuk, mengingat tempat ini yang lumayan jauh dari pusat kota yang sudah terkontaminasi dengan berbagai macam jenis polusi.

Merasa cukup lama dan puas melihat sekitarnya, Agni mengalihkan pandangannya menuju Rio, terlihat pemuda itu sibuk dengan 4 (empat) kantong yang dibelinya dari Mini Market tadi. Agni semakin tidak mengerti ketika ia melihat Rio mulai melangkah masuk gedung tua itu, setelah Rio sudah mencapai pintu masuk, terlihat beberapa anak kecil menghampiri Rio, senyum tulus menghiasi wajah mereka. Agni sedikit terbelalak ketika melihat siapa yang berada digendongan Rio. Ray???, pikir Agni. Kenapa bocah lucu itu ada disini?, Ray tampak imut dengan baju SpiderMan-nya, senyum lucu tergambar jelas dibocah yang beberapa hari lalu ada dirumah sakit itu. Terlihat Ray mengalihkan pandangannya ke belakang, mata bonekanya membesar dan tersenyum, Ray turun dari gendongan Rio dan berlari menuju Agni. Kontan Agni merentangkan tangannya, menyambut Ray dan langsung menggendong bocah lucu itu.

“Ray kok bisa disini sih?” tanya Agni langsung, Ray tersenyum kemudian menunjuk kearah Rio yang sibuk membagikan cemilan kepada anak-anak tadi, Agni mengerti maksud Ray dan kemudian melangkah mendekati Rio.

“Ini pacar kak Rio ya?” tanya seorang anak manis mendekat kearah Agni yang masih menggendong Ray, Agni hanya tersenyum lemah mendengarnya sedangkan Rio? Sempat tersentak ketika ditanya seperti itu.

“Iya, kak Agni pacalnya kak Lio” baru saja Rio ingin menjawab, Ray langsung memotong perkataan kakaknya itu, beberapa anak mengangguk mengerti. Agni dan Rio? Bingung bagaimana ingin menjelaskan yang sebenarnya, apalagi jika melihat ekspresi Ray ketika menjawabnya. Sudahlah, toh Cuma didepan mereka, bukan beneran, pikir mereka, tidak terlalu ingin memperpanjang masalah sepele itu.

“Pacarnya kak Rio cantik ya” celetuk seorang anak perempuan, yang lainnya mengangguk setuju. Agni hanya tersenyum tipis mendengar kesalahpahaman itu.

“Udahlah, sekarang kita masuk yuk” ajak Rio, tidak ingin terlalu larut dalam situasi aneh seperti itu. mereka mengangguk kemudian mengikuti langkah Rio masuk ke salah satu ruangan digedung tua itu.

Agni kembali tercengang, ternyata didalam itu terdapat beberapa rak buku, mainan dan gitar yang tergantung disalah satu sudut dinding dalam ruangan itu. Terlihat Rio sudah duduk manis sambil memangku gitar yang tergantung tadi, terlihat Rio sedang berinteraksi dengan anak itu, sepertinya mereka akan bernyanyi.

“Ayo kak kita kesana, liat kak Lio nyanyi sambil maen gital” ajak Ray menarik tangan Agni menuju tempat Rio dan anak-anak itu berkumpul, Rio mengalihkan pandangannya menuju Agni kemudian tersenyum. Untuk yang pertama kalinya Agni melihat senyum dari ‘monster’ itu dan Agni tau kalau senyum itu tulus, bukan senyum sinis yang selama ini sering diperlihatkannya. Agni tertegun tapi detik kemudian ia tersadar karena mendengar petikan gitar Rio.


Sometimes I wondered what I'd be when I grew up
And then I remembered it was anything I dreamed of
I could be a poet or a singer, I can be a scientist
But before I make that decision, lets talk about my list

Rio terpejam ketika menyanyikan lirik lagu itu, terlihat kalau ia menghayati lagu yang sedang dibawakannya, sama halnya dengan Rio, anak-anak itu tersenyum senang mendengar Rio bernyanyi, apalagi itu salah satu lagu favorit mereka.

Let's talk about love, let's talk about peace
And living in perfect harmony
Let's talk about hugs, and talk about ways that we can share

Rio membuka matanya, kemudian tersenyum lembut kearah anak-anak itu. Terlihat anak-anak itu larut dalam permainan gitar dan lagu Rio, bahkan beberapa diantara mereka mulai mengikuti Rio bernyanyi.

Let's talk about you, let's talk about me
Let's talk about how we can be one big family
Let's talk about love, talk about love

Rio menatap Agni yang tertegun disebelahnya, merasa ada yang memperhatikan, Agni mengalihkan pandangannya menuju Rio, terlihat pemuda itu tersenyum tulus, Agni hanya membalasnya dengan senyum kaku, entah mengapa Agni tiba-tiba merasa darahnya mengalir deras menuju kepalanya, membuat mukanya terlihat merah dan pipinya memanas ketika melihat senyum Rio barusan.

Sometimes I feel like I want to give my friends a call
To tell them what I'm dreaming and everything I want
I want us to be a little closer
And to always reach out a hand
To be kind to one another
And always understand

Rio kembali menatap anak-anak didepannya, dalam keadaan apapun ia berusaha bersyukur. Setidaknya hidupnya masih lebih baik daripada mereka.


It's all about love, it's all about peace
To living in perfect harmony
It's all about hugs, it's all about ways that we can share  
It's about you, it's about me
It's all about how we can be one big family
It's all about love

Semua terdiam, terlalu terfokus dan terpana akan nyanyian dan permainan gitar Rio. Sesekali terdengar mereka mengikuti lirik yang dinyanyikan Rio, kalau sudah begitu, Rio hanya tersenyum melihatnya.

Everybody has a heart
Everybody has a smile
Let's wrap a bow around each one
And give it away once in awhile

It's all about love, it's all about peace
To living in perfect harmony
It's all about hugs, it's all about ways that we can share

It's about you, it's about me
It's all about how we can be one big family
It's all about love

Rio berdiri dari duduknya, masih dengan memainkan gitar dan bernyanyi. Anak-anak yang melihat Rio seperti itu jadi mengikutinya, mereka semua berdiri, Rio masih terus bernyanyi sambil sesekali mengelilingi mereka. Terkadang mereka mengikuti lirik lagu dan gaya Rio ketika bernyanyi, semua larut dalam suasana hangat itu. Terlihat ditengah mereka Ray mengikuti sang kakak, bocah lucu itu berjoget ditengah-tengah kerumunan anak-anak yang mengelilingi Rio. Agni hanya tersenyum tipis melihat tingkah Ray, kadang juga ia menggelengkan kepalanya.


It's all about love, it's all about peace
To living in perfect harmony
It's all about hugs, it's all about ways that we can share


It's about you, it's about me
It's all about how we can be one big family
It's all about love

Lat's talk about love
Let's talk about love

Seiring berakhirnya nyanyian dan permainan gitar Rio, semua yang berada diruangan itu kontan bertepuk tangan. Nyanyian Rio begitu terasa dihati mereka, Rio yang melihat itu hanya tersenyum manis dan tulus. Lagi-lagi Agni tertegun melihat pemandangan itu, pemandangan langka dari seorang Mario Stevano Aditya Haling. Agni dihadapkan dengan berbagai kemungkinan, sebenarnya yang mana sifat asli seorang Mario. Yang dingin, cuek, egois dan arogan atau yang dilihatnnya sekarang, Mario yang hangat, lembut dan murah senyum?. Dua sifat yang sangat berbanding terbalik.

@_@
Agni mengernyitkan dahinya, heran dengan pemandangan didepannya. Terlihat Gabriel sedang tersenyum sendiri. Aneh, kemaren kaya’ ayam sakit, sekarang udah kaya’ orang gila, batin Agni mulai berjalan perlahan mendekati Gabriel. Agni mengibaskan tangannya dihadapan Gabriel tapi hasilnya nihil, Gabriel masih melakukan kegiatannya semua, senyum-senyum sendiri padahal yang ditontonnya adalah pertandingan sepak bola. Apalagi yang bermain itu adalah klub favorit Gabriel, Manchester United. Agni menghela napas, sepertinya abangnya itu memang sudah gila, masa’ nonton bola pake ketawa-ketawa. Emang ada yang lucu?, pikir Agni mengikuti tatapan Gabriel.

“Bang, lo gila ya?” tanya Agni lengkap dengan ekspresi polos dan tanpa dosanya, seketika Gabriel mengalihkan pandangannya menuju sang adik yang menatapnya penuh arti. Gabriel mendengus kemudian menoyor kepala Agni perlahan.

“Sembarangan aja lo kalo ngomong” elak Gabriel, sepertinya sekarang perhatiannya sudah terfokus pada pertandingan sepak bola dihadapannya.

“Lah, trus kenapa lo senyum-senyum gitu Bang? nonton bola kok senyum-senyum sih” cerocos Agni sambil melahap kripik singkong yang berada dipelukan Gabriel.

“Emang ngga boleh gitu?” tanya Gabriel tanpa mengalihkan pandangannya dari TV.

“Ngga sih, Cuma aneh aja gitu Bang” jelas Agni, mengikuti jejak Gabriel. Menonton pertandingan sepak bola.

Kedua kakak beradik ini sibuk memperhatikan pertandingan sepak bola dihadapan mereka, sesekali terdengar umpatan kecil ketika klub favorit mereka gagal melakukan gol atau sebaliknya klub lawan yang berhasil mencetak gol dan ikut tegang ketika pemain dari klub favorit mendapat kesempatan pinalti atau free kick. Rumah yang semula sepi itu, menjadi ribut karena ulah dua bersaudara ini, selain mereka juga terdapat beberapa pembantu dan supir yang ikut larut dalam euphoria mereka. Mereka semua larut dalam pertandingan itu. At least, pertandingan malam itu dimenangkan oleh Manchester United dengan skor 3-2 dari lawannya Manchester City, kontan saja Gabriel berteriak histeris dan tanpa sadar memeluk Agni yang berada disebelahnya, Agni yang berada dipelukan Gabriel hanya menutup telinganya, merasa risih dengan teriakan sang kakak.

“WOY, GABRIEL STEVENT. LO BISA BRENTI NGGA, BUDEK NIH GUE” teriak Agni tepat ditelinga Gabriel, seketika Gabriel langsung melepas pelukannya dan menatap tajam Agni. “Apa lo?” ujar Agni galak, masih mengelus telinganya yang sedikit pengang karena teriakan Gabriel tadi dan berjalan menuju kamarnya. Gabriel menatap adiknya itu, tapi detik kemudian, ia kembali larut dalam kegiatan ‘gila’nya barusan.

@_@
“Ag, si Rio kenapa ngga masuk?” tanya Sivia menatap Agni yang sibuk dengan batagor dihadapannya.

“Mana gue tau Vi. Gue bukan babysitternya, ngapain lo nanya gue?” jawab Agni ketus, Sivia hanya nyengir sambil menunjukkan jari tengah dan telunjuknya.

“Eh iya Ag, lo kemaren diajak kemana sama si Rio? Lo ngga diapa-apain kan? Gila tuh si Rio maen tarik orang sembarangan, mana buat gempar lagi, ngga nyangka gu… hmmmppptttt” belum sempat Sivia menyelesaikan perkataannya, Agni langsung saja membekap mulut sahabatnya itu, terkadang Agni heran, Sivia itu kadang cuek tapi kalau cerewetnya kumat, bisa ngomong panjang lebar kaya’ petasan.

“Lo nyerocos mulu sih Vi, kalo nanya satu-satu napa?” ujar Agni sewot sambil melepas bekapannya pada mulut Sivia, terlihat Sivia sedang mengatur napasnya yang panjang pendek gara-gara tindakan Agni barusan.

“Buruan jelasin” ujar Sivia setengah memaksa sambil menyantap bakso dihadapannya. Agni mulai menceritakan semua yang dialaminya kemarin, dari Rio menariknya secara tiba-tiba sampai semua yang terjadi di gedung tua itu, Sivia yang mendengarkan itu menatap Agni tidak percaya, sedikit sangsi kalau seoarng Mario bisa melakukan hal tersebut, Sivia tidak lagi mempedulikan baksonya yang masih penuh, sekarang ia sepenuhnya terfokus pada cerita Agni. Sivia menatap Agni takjub, masih belum mempercayai jika semuanya nyata dan terjadi pada sahabatnya itu. “Itu semua beneran Ag?” tanya Sivia menatap Agni sangsi, Agni mengangguk mantap kemudian menyantap batagornya. “Ngga nyangka gue, kalo monster kaya’ dia bisa berbuat baik juga” ujar Sivia sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya.

“Gue juga ngga bakal percaya kalo ngga liat sendiri Vi” jelas Agni, Sivia menganggkat bahunya perlahan, dan detik kemudian kedua gadis itu larut dalam kegiatan mereka masing-masing.

Mata sipit pemuda ini seketika terbelalak, masih tidak mempercayai indera pendengarannya, padahal ia yakin bahwa indera pendengarannya masih sangat baik. Tapi… jika mendengar semua cerita Agni tentang Rio, sepertinya dia harus segera memeriksakan indera pendengarannya itu ke dokter THT, setidaknya meyakinkan kalau dia tidak salah dengar. Dan kenyataannya, tanpa perlu ke dokter THT pun sepertinya ia yakin kalu indera pendengarannya masih baik, bahkan sangat baik. Wajar saja kalau pemuda sipit ini merasa ragu dengan apa yang didengarnya, seorang Mario Stevano Aditya Haling bisa kembali seperti itu, benarkah? Atau ia hanya mimpi? tapi semuanya nyata, ya seorang Mario sudah kembali. Selama 4 (empat) tahun ini, akhirnya penantiannya berakhir, walaupun bukan dalam arti yang sesungguhnya dan sepenuhnya berakhir seperti yang diharapkannya. Akankah Rio kembali? Atau itu hanya sementara? Entahlah, untuk saat ini ia hanya bisa menjadi penonton yang baik dan berharap semoga ini menjadi awal yang baik. Kembalinya seorang Mario Stevano Aditya Haling dan Alvin Jonathan Sindhunata. Dua pemuda yang menjadi Most Wanted dengan sejuta misteri akan apa sebenarnya hubungan mereka?, dua pemuda yang dipisahkan jurang yang dalam dan gelap, dua pemuda yang menutup diri mereka dari segala hal diluar sana dan juga dua pemuda yang menjadi juru kunci dan pemeran utama dari masalah mereka sendiri.

@_@
“Ngapain Papa bawa’ perempuan itu kesini?” desis Rio sambil menatap tajam Joe –Papanya- dan wanita yang berdiri dibelakang papanya, Joe hanya menatap Rio, seolah menyuruh Rio untuk berlaku lebih sopan pada wanita yang dibawanya itu. “Jangan harap Rio mau nerima DIA” ujar Rio tajam sambil menunjuk wanita yang sekarang sudah menunduk, Joe menatap Rio garang, seketia rahangnya mengeras dan tangannya sudah terangkat, berniat ingin memberi putra sulungnya itu pelajaran, sedangkan Rio? Ia hanya tersenyum miring melihat reaksi papanya.

“Jangan Pa” teriak Ray langsung mendekat kearah kakak dan Papanya, seketika Ray langsung memeluk kaki Rio, karena hanya itu yang mempu dijangkaunya. Joe menatap Ray, kemudian jongkok tepat dihadapan Ray, mensejajarkan tingginya dengan Ray tapi Ray malah bersembunyi dibalik kaki Rio. “Jangan pukul kak Lio, Pa” ujar Ray sedikit parau, terdengar jelas kalau suara bocah lucu itu bergetar. Joe hanya tersenyum miris menatap Ray.

“Papa ngga akan mukul kak Rio, Ray. Kamu tenang aja” ujar Joe lembut, perlahan Ray mulai menunjukkan wajahnya lagi yang semula bersembunyi dibalik kaki jenjang Rio, menatap Papanya dan mencari kepastian dan kebenaran dari perkataan Papanya.

“Kalo mau mukul, pukul aja Pa. Biar ntar mata Ray, Rio yang nutup deh.  Biar Ray ngga tau gimana ‘buruk’nya Papa” ujar Rio tenang, seketika Joe kembali berdiri dan menatap Rio tajam, Rio membalasnya dengan tatapan malas.

“Jaga omongan kamu, MARIO” ujar Joe penuh penekanan disetiap perkataannya. Ray kembali bersembunyi dibalik kaki Rio, sedikit takut dengan suara Papanya barusan.

Kemudian bocah imut dan lucu itu mengalihkan pandangannya pada sosok lain yang ada bersama mereka, ya wanita itu. Wanita yang beberapa hari lalu menjenguk Ray dirumah sakit, wanita blasteran yang diusir Ray, Ray menatap wanita itu tidak suka dan marah karena keberadaan wanita itu dirumah mereka.

“Ngapain papa bawa dia?” ujar Ray menatap wanita itu tajam, Joe sedikit terlonjak mendengar nada amarah dan tidak suka dari perkataan putra bungsunya itu.

“Lho, memangnya kenapa Ray? Tante Nadya baik kok” ucap Joe mencoba meluruskan persepsi Ray tentang wanita itu –Nadya- yang masih menunduk, menatap lantai dalam diam.

“Heh!!! Tante? Kaya’nya lebih enak kalo panggil kakak deh. Umurnya juga masih muda kan?” sindir Rio tanpa menatap Joe ataupun Nadya.

“Lay ngga suka Pa, suluh dia pelgi. Lay ngga mau liat dia ada dilumah kita” usir Ray menatap Joe yang tepat berada dihadapannya, terlihat sekali Joe menahan amarahnya yang sudah memuncak ketika menatap kedua anaknya bergantian.

“Terserah kalian. Suka atau ngga, Nadya tetap disini” putus Joe dengan nada membentak kemudian berjalan pelan menuju Nadya yang masih berdiri menatap lantai rumah keluarga Haling.

“Papa jahat hiks, kenapa Papa lebih belain dia dalipada Lay sama kak Lio? hiks hiks. Papa udah ngga sayang lagi sama Lay hiks... Lay ngga mau liat Papa lagi, Lay mau ikut mama aja hiks” tangis Ray berlari menuju kamarnya seketika…

BLAM…!!!

Suara bantingan pintu kamar Ray membuat ketiga orang dewasa itu kembali kealam sadarnya, ketiganya terutama Rio dan Joe menatap pintu kamar Ray nanar. Tidak menyangka bahwa anak itu akan berbicara seperti itu, satu hal yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya. Sebegitu lelahkah Ray, sampai akhirnya kata-kata itu keluar dari bibir mungilnya? Dan kalimat terakhir itu tergiang hebat ditelinga Rio dan Joe.

Lay mau ikut mama aja

Lay mau ikut mama aja

Setelah puas memandangi pintu kamar Ray yang tertutup, Rio menatap tajam Joe dan Nadya yang berada tepat satu meter didepannya, rahangnya mengeras seketika, tangannya mengepal hebat, terlihat sekali kalau Rio sedang berusaha menahan amarahnya yang seketika memuncak.

“PUAS??, Papa udah puas liat Ray gitu. Buat Ray berpikir aneh kaya’ gitu. Oh, atau jangan-jangan emang itu tujuan papa. Nyingkirin Rio sama Ray supaya bisa nikah sama perempuan NGGA TAU DIRI ini dan ngelupain Mama, IYA!?!” teriak Rio kalap sambil menunjuk-nunjuk wajah Nadya yang semakin menunduk.

Plak…!!!

Rio tersenyum miring, akhirnya hal yang selama ini dinantikannya sudah terjadi. Joe menamparnya tepat didepan perempuan yang sudah merebut kasih sayang papanya, perempuan yang sudah membuat papanya melupakan mamanya dan perempuan yang sudah membuat Ray berpikiran aneh seperti itu. Rio menatap Nadya sinis dan tajam, terlihat sekali bahwa dia sangat amat tidak menyukai perempuan dihadapannya itu.

“Thanks Pa buat tamparan Papa ini. haahhh, ini udah lebih dari cukup buat aku tau kalau papa lebih milih perempuan ngga tau diri ini daripada aku sama Ray. Oke, Fine… semoga papa ngga nyesel pernah ngelakuin ini sama aku atau Ray dan semoga juga papa bisa bahagia sama perempuan ngga tau diri ini” ujar Rio berbalik dan sedikit berlari kecil menuju kamar Ray, mencoba melihat keadaan adiknya itu lebih lanjut.

Berbeda dengan Rio, Joe? Menatap nanar tangannya, menyesali perbuatan bodohnya beberapa saat lalu, ia sudah menampar Rio? Menampar darah dagingnya sendiri. Seketika Joe terduduk lemas disofa yang berada tidak jauh darinya, Nadya yang melihat itu langsung mengelus punggung Joe perlahan, mencoba menguatkan dan memberi ketenangan pada lelaki itu.

@_@
Rio menatap nanar Ray yang berbaring membelakanginya, terlihat bahwa Ray masih menangis, bahunya bergetar dan terdengar beberapa kali sesegukan. Perlahan Rio mendekat kearah Ray yang membelakanginya, Rio duduk diranjang Ray yang berbentuk mobil-mobilan itu, tangannya mengelus kepala Ray lembut. Ray berbalik dan mendapati Rio berada dibelakangnya, Ray duduk dan langsung memeluk Rio sambil meneruskan tangisannya. Sedangkan Rio? Tidak bisa melakukan apapun kecuali mengelus kepala Ray lembut dan perlahan, berharap itu bisa sedikit memberi kekuatan pada adiknya.

“Hiks, Kak Lio hiks.. Lay mau ketemu kak Agni, kak… hiks hiks” ujar Ray tiba-tiba sambil menatap Rio penuh harap, Rio menatap Ray bingung. Kenapa adiknya itu malah mau ketemu dengan cewek stres itu?, pikir Rio, masih belum mempercayai ucapan Ray barusan.

“Aduh… Ray, kita keluar aja ya, tapi ngga usah ketemu kak Agni” elak Rio, seketika Ray langsung melepaskan pelukannya dan menatap tajam Rio.

“Lay ngga mau. Lay sekalang Cuma mau ketemu kak Agni” teriak Ray, Rio hanya menghela napas berat. Kumat deh manjanya, batin Rio menatap Ray yang sudah memelas.

“Oke… oke… kita ketemu sama kak Agni” ujar Rio akhirnya, Ray tersenyum puas dan menghapus sisa air matanya.

Rio langsung membawa Ray dalam gendongannya, sepertinya Ray sudah lebih ceria daripada tadi. Rio berjalan sambil menggendong Ray tanpa menghiraukan Joe dan Nadya yang masih berada ditempat semula, mereka menganggap kalau Joe dan Nadya tidak ada. Mereka melenggang mulus dan Rio mengambil kunci mobil yang tadi digantungkannya dekat pintu masuk.

Rio dan Ray sudah berada di mobil sport silver Rio, setelah memasangkan seat belt pada Ray dan dirinya sendiri, Rio mulai menjalankan mobil itu dengan kecepatan standard, mencoba mencari ketenangan dan sedikit menghilangkan emosi karena kejadian beberapa saat yang lalu.

Selama diperjalan, kakak adik ini larut dalam suasana hangat yang mereka ciptakan, terkadang terdengar celotehan lucu Ray yang membuat Rio tidak bisa menahan tawanya, atau Rio yang menyanyi. Seketika, emosi dan kesedihan pada mereka menguap, seolah itu hanya angin lewat dan patut dilupakan. Dalam hati, Rio bersyukur, setidaknya Ray sudah kembali seperti semula dan sedikit melupakan apa yang terjadi dan diucapannya. Rio menghela napas perlahan kemudian mendaratkan tangannya dikepala Ray, mengelus rambut adiknya itu penuh sayang. Ray yang belum terlalu mengerti hanya menatap Rio dan tersenyum lucu.

@_@
“Eh Ag, bareng ngga?” tegur Alvin ketika dilihatnya Agni sedang memasukkan buku dengan sembarangan kedalam ransel hitamnya, Agni menatap Alvin sejenak kemudian mengangguk.

“Boleh deh Pin” balas Agni kemudian mengikuti langkah Alvin yang panjang.

Selama menuju parkiran, keduanya larut dalam obrolan yang seolah tanpa ada habisnya. Keduanya kadang kembali mengenang masa lalu mereka, sesekali terlihat mereka tertawa bersama kadang juga Agni memukul pelan lengan Alvin ketika pemuda itu menggodanya. Tepat beberapa meter didepan mereka, terdapat sebuah mobil sport silver terparkir dengan manisnya. Agni sedikit menyipitkan matanya, sepertinya dia mengenali salah satu dari dua orang yang berdiri disebelah mobil itu, Agni terbelalak ketika Ray berlari kearahnya.

“Kak Agniiiiiiiiii” panggil Ray sambil berlari menuju Agni, dibelakangnya Rio berjalan dengan gaya khasnya, tangan kiri yang masuk disaku jinsnya.

“Hey Ray, kok bisa disini sih?” tanya Agni mensejajarkan posisinya pada Ray, Ray tersenyum lucu.

“Lay bosen dilumah, Lay pengen main sama kakak. Kak Agni mau ngga?” pinta Ray, wajahnya terlihat memelas dan mata bonekanya itu semakin membuat Agni gemas pada bocah imut dihadapannya ini.

“Boleh, emang mau main apa?” tanya Agni lagi, Ray menatap Rio yang berada dibelakangnya. Ray mengernyitkan dahinya, heran kenapa kakaknya itu memasang wajah dingin dan menatap lurus kesatu arah, Ray mengikuti arah pandang Rio dan tepat terhenti pada satu orang. Alvin…!!! Ray menatap Alvin lama, seperti pernah mengenal pemuda itu.

“Lho, kakak ini kan….”



To be Continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar