Selasa, 21 Juni 2011

Loving Girl #3rd

Loving Girl
Part #3rd

“Alvin” balas Agni singkat. Sivia terkejut, kenapa Agni malah memikirkan Alvin? Kenal-dalam arti dekat-aja belum tapi malah memikirkan Alvin sampai-sampai seperti orang kesurupan, batin Sivia heran.

@_@

Alvin, orang yang seharian ini dipikirkan oleh Agni malah terlihat mendung. Ekspresinya sedih dan terlihat penyesalan disaat yang bersamaan, Alvin menatap dari pintu kelas tempat duduk Agni tepatnya yang disebelah Agni. Kosong. Seperti biasa tempat itu akan kosong pada setiap tanggal hari ini, 25 Januari. Alvin menghela napas, panjang dan berat. Sebegitu fatal kah perbuatannya? Ia sudah berusaha memperbaikinya tapi malah… Ah, sudahlah, sekarang ia harus bangkit walaupun susah dan itu tidak membutuhkan waktu yang sedikit, setidaknya ia sudah berusaha.

“Lo pasti ada disana” desah Alvin lirih. Ia berbalik arah, berniat keluar dari kelas. Alvin terperanjat, orang yang sedari tadi ada dipikirannya tiba-tiba sudah berada dibelakangnya. Rio. Ya ternyata Rio baru saja datang padahal ini sudah jam pelajaran kelima dan itu berarti Rio hanya mengikuti pelajaran keenam sampai kedelapan.

Rio melangkah masuk ke kelas tanpa sedikit pun menoleh kearah Alvin yang berdiri didepan pintu kelas. Alvin melihatnya, melihat semua yang dilakukan Rio mulai dari Rio masuk ke dalam kelas tanpa mengiraukannya, Rio duduk dibangkunya sampai Rio yang memakai earphone I-podnya dan seketika memejamkan matanya. Alvin menatapnya miris, kemudian berjalan keluar kelas menyusul Agni yang sudah duluan ke kantin bersama Sivia. Rio, dia bukannya tak menyadari bahwa sedari tadi Alvin memperhatikan gerak-geriknya tapi ia mengacuhkannya, tidak peduli akan keberadaan Alvin. Transparan. Rio menganggap Alvin transparan, tidak terlihat dan sama sekali tidak berniat untuk melihatnya.

@_@

Keringat dingin membasahi pelipis pemuda ini, ia merasa tidak nyaman dengan mimpinya. Mimpi buruk yang selalu menghantuinya, ia sudah berulang kali berusaha untuk keluar dari mimpi itu, tapi mimpi itu selalu menghantuinya, selama kurang lebih 4 tahun belakangan ini ia tida bisa lagi menikmati tidurnya. Selalu, mimpi itu selalu datang setiap malamnya, dan hampir setiap malam pula ia harus terbangun dengan napas terengah dengan keringat yang membasahi tubuhnya. Dan seperti malam-malam sebelumnya, mimpi itu datang, bagai tamu tak diundang tapi ia juga tidak bisa mengusirnya. Ntah sampai kapan ia harus terus berada dalam dekapan mimpi itu, mimpi yang membuat segalanya berantakan, mimpi yang sudah membuatnya trauma berat dan mimpi yang sudah membuatnya kehilangan. Seperti biasa ia kembali terbangun dengan keringat yang membasahi tubuhnya, napasnya terengah seperti habis berlari, ia menatap sekelilingnya. Masih sama, ia masih berada dikamarnya.

@_@

“Kak Lio mau kelual lagi ya?” Rio membeku ditempat, ternyata perkiraannya salah. Ray belum tidur padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, Rio menghela napas sebelum berbalik menatap adiknya yang berdiri tidak jauh dari pintu kamarnya.

“Ng… ngga kok. Kak Rio ngga mau keluar Cuma mau… mau… oh iya mau ngunci pintu” ujar Rio, Ray menatapnya dengan pandangan menyelidik. Rio gelagapan sendiri menghadapi Ray.

“Kak Lio bo’ong sama Lay. Kak Lio mau klual kan?” ternyata Ray tidak mempan dibohongi, Rio menatap adiknya yang sudah manyun dan menggembungkan pipinya. Kemudian Ray berbalik dan berjalan menuju kamarnya. “Kak Lio boleh klual” ujar Ray, Rio tersenyum cerah mendengarnya, tanpa diduga Rio, Ray berbalik lagi. “Tapi Lay ngga mau minum obat lagi”.

Brak…!!!

Ray langsung masuk ke kamarnya dan membanting pintunya, sedangkan Rio? Ia mematung, terdiam ditempatnya. Mencoba untuk mencerna perkataan atau lebih tepatnya ancaman Ray tadi, huft… lagi-lagi Ray mengeluarkan ancaman andalannya. Sebenarnya hari itu Rio sangat suntuk berada dirumah, makanya ia berniat keluar. Mencari udara segar dan sedikit menenangkan hati dan pikirannya. Rio langsung mendekati pintu kamar Ray, masuk dan mendekati Ray yang sudah terlihat tidur.

“Iya, Kak Rio ngga keluar hari ini” Rio mencium kening Ray sayang setelah itu Rio langsung keluar dari kamar Ray dan menuju kamarnya dilantai dua. Sepeninggal Rio, Ray membuka matanya. Ternyata tadi Ray hanya menutup matanya, bukan benar-benar tertidur.

@_@

“Gue duluan bang” pamit Agni, keluar dari mobil Gabriel dan menghampiri Sivia yang sudah menunggunya didepan gerbang sekolah.

“Ntar gue jemput” teriak Gabriel pada Agni yang lumayan jauh darinya, Agni mengacungkan jempolnya. Gabriel hendak menutup jendela mobil yang tadi terbuka karena memanggil Agni barusan, tapi terhenti ketika ia melihat seseorang, cowok berperawakan tinggi, putih dan bermata sipit. Alvin, yah orang yang dilihat Gabriel adalah Alvin. Walaupun dalam waktu kurang lebih dari 12 tahun mereka tidak saling bertemu tapi Gabriel masih bisa mengenali Alvin, dari bahasa tubuh dan gerak-geriknya. Alvin terlihat keluar dari Volvo-nya, ternyata benar yang dibilang Agni, Alvin berubah bukan karena dia sekarang membawa mobil tapi hampir semuanya, ekspresi Alvin yang dulu ceria dan murah tersenyum sekarang malah terlihat dingin dan menyimpan banyak rahasia. Gabriel tidak mengenali Alvin yang sekarang, ia terlihat sangat berbeda. Walaupun Alvin adalah sahabat kecilnya, tapi Gabriel benar-benar tidak mengenali Alvin yang sekarang. Alvin sudah memasuki kelasnya, sedangkan Gabriel yang sedari tadi memperhatikan Alvin menepuk jidatnya. “Shit…!!! Telat kan gue” gumam Gabriel sambil menghidupkan audi-nya dan bergegas meninggalkan sekolah adiknya itu.

@_@

“Ag, lo kenal Alvin?” tanya Sivia, Agni mengernyit heran, ya jelaslah kenal orang satu kelas, batin Agni heran dan menatap Sivia yang menatapnya penasaran.

“Yaiyalah Vi, kita kan satu kelas. Masa’ ngga kenal sih” jawab Agni santai, melanjutkan bacaannya yang tadi sempat tertunda karena pertanyaan Sivia.

“Bukan itu maksud gue Ag” Sivia gemas melihat ekspresi santai Agni barusan, Agni sekarang menutup novelnya dan menghadap Sivia.

“Lah terus?” Agni sedikit bingung dengan maksud Sivia, Agni memiringkan sedikit kepalanya, menatap Sivia lebih jelas.

“Maksud gue, lo kenal ‘deket’ ya sama Alvin. Soalnya dari awal lo sekolah disini pun lo nanya-nanya soal Alvin” ujar Sivia mempertegas maksud pertanyaannya tadi, Agni mengangguk-anggukkan kepalanya dan kembali membuka novelnya, melanjutkan bacaannya.

“Iya, Alvin itu sahabat kecil gue” cerita Agni, Sivia agak tersentak kaget. “Emang kenapa Vi?” tanya Agni menatap langsung mata Sivia, mengalihkan pandangannya dari novelnya tadi. Sivia sendiri gelagapan mendengar pertanyaan dadakan Agni.

“Eh,… ng… ng… ngga… gue, gue…. Ngga kenapa-napa kok Ag” jawab Sivia mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan menyelidik Agni. Agni menyipitkan matanya, agak ragu dengan jawaban Sivia. Wajah Sivia yang sedari tadi diperhatikan Agni kini berubah warna, semula putih menjadi agak kemerahan, entah apa yang membuatnya seperti itu. Sivia makin gelagapan, Agni yang melihat itu tersenyum penuh arti.

“Lo suka Alvin, Vi?” tebak Agni, Sivia melotot garang tapi wajahnya berubah menjadi makin merah. Agni sudah tidak bisa lagi menahan tawanya, alhasil Agni Cuma bisa ngakak sambil memegangi perutnya yang sakit karena daritadi tertawa, sedangkan Sivia? manyun. Tapi tidak mengubah sedikitpun ‘warna’ wajahnya.

“BRISIK WOY” suara Rio menggema, merasa terganggu tidurnya. Rio terbangun dari tidurnya dan langsung menatap Agni dan Sivia yang berada tiga meja didepannya dengan marah. Seperti biasa yang Rio sedang tertidur dibangkunya dengan posisi kaki diletakkan diatas meja dan earphone I-podnya menjuntai indah dikedua telinganya sedikit merasa terganggu dengan Agni dan Sivia. Memang saat itu Cuma ada mereka bertiga, sejak bel istirahat Agni ‘ngungsi’ ke bangku Sivia, Rahmi, cewek berjilbab yang duduk disamping Sivia sudah pergi ketika bel istirahat tadi. Agni yang merasa tersinggung langsung menatap Rio garang, tidak terima dengan teriakan Rio. Padahal memang dari awal Agni yang salah, tertawa terlalu keras. “Ngapain lo liat-liat cewe stres!!” bentak Rio, tidak senang Agni menatapnya seperti itu. Agni memutar bola matanya dan beralih, tidak lagi menatap Rio. Rio? Kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda barusan.

@_@

Dia hanya bisa menyesal sekarang, menyesal kenapa ini semua terjadi padanya. Mengapa kejadian itu harus merenggut sesuatu yang berharga dari dirinya?, tidak cukupkah semua kebaikan yang selama ini ia lakukan?, sampai-sampai dewi fortuna tidak berpihak padanya? Jangankan berpihak, sepertinya meliriknya saja dewi fortuna enggan. Sendiri, satu kata yang selalu berteman baik dengan dirinya. Disaat ia menemukan seseorang yang mengerti dirinya tapi mengapa orang itu harus meninggalkannya? Bukan hanya meninggalkannya untuk sementara tapi meninggalkannya untuk selamanya, meninggalkan dirinya dengan berjuta penyesalan dan kesedihan, andai ia bisa memutar waktu, ia sangat kembali ke masa itu dan mencegah kejadian itu terjadi. Tapi apa daya, ia hanya manusia biasa, bukan Doraemon yang mempunyai mesin waktu dan ia juga bukan Harry Potter yang bisa melawan dengan sihirnya jika seseorang atau sesuatu mengganggu kehidupannya. Sungguh tidak adil, disaat semua orang seusianya merasa kebahagian mengapa ia malah sebaliknya, merasa kesepian, meringkuk didalam kesendirian yang mendalam.

@_@

“Bang jalan keluar yuk? Boring nih gue” ajak Agni ketika ia melihat Gabriel di ruang TV, ada yang aneh dari Gabriel, biasanya ia antusias ketika menonton apalagi jika itu acara kesayangannya tapi mengapa sekarang terdiam, pandangannya kosong dan dirinya pun seperti tak bernyawa. Agni memandang Gabriel, beralih ke TV, ke Gabriel lagi dan ke TV. Begitu seterusnya, Agni mendengus kesal kenapa malah ia seperti orang kurang kerjaan. Bergantian menatap TV dan Abangnya yang-sepertinya- sedang melamun. “Wah, mesti dikasih pelajaran nih” gerutu Agni dengan senyum misteriusnya, Agni menarik napas panjang, mendekat ke arah telinga Gabriel dan…. “BANG IYEEELLLLLLL, ADA TIKUS NAKSIR LO NOH” teriak Agni dengan suara TOA-nya, Gabriel tersadar seketika.

“HUAAAAA, BUNDA TOLONG IYEL ADA TIKUS YANG NAKSIR IYEL” teriak Gabriel histeris, sambil menaikkan kakinya ke atas sofa yang tadi didudukinya, sesekali ia melihat kearah bawah, kalau-kalau ada tikus yang dikatakan Agni barusan. Sedangkan Agni? Ia sudah berguling sambil memegangi perutnya yang sakit akibat tertawa melihat ekspresi lucu Gabriel. Gabriel yang mendengar Agni tertawa langsung mengalihkan pandangannya, Gabriel memicingkan pandangannya, matanya menyipit memperhatikan Agni. Agni yang sadar diperhatikan Gabriel langsung mencoba meredam tawanya tapi….

“Hahhahahahh, lucu lo bang. Asli parah lo. Hahahahaha” tawa Agni semakin meledak, Gabriel menatapnya garang, mendekat kearah adiknya itu. “hehehe, peace bang, damai itu indah” ujar Agni bangun dari duduknya dan.. “Kabooooooooorrr” Agni langsung berlari meninggalkan Gabriel, muka Gabriel merah antara kesal dan malu, kesal karena berhasil dikerjai adiknya dan malu karena ia takut hanya karena seekor tikus.

“Deedeeeeeeeeeeee’ awas aja lo ye, tunggu pembalasan gue” teriak Gabriel kembali melanjutkan aktivitas yang tadi sempat tertunda gara-gara ulah Agni barusan, Gabriel tak hentinya menggerutu kesal sedangkan Agni, kembali melanjutkan tawanya tadi di dalam kamar.

@_@

“Lo kenapa Ag? Dari tadi gue liat ketawa sendiri, kumat ya lo” ujar Sivia, heran mengapa daritadi temannya itu tak berhentinya tersenyum bahkan tertawa padahal disekitar mereka tidak ada yang lucu.

“Yeeee, sembarangan aje lo” balas Agni menoyor kepala Sivia, Sivia manyun.

“Lah kenapa daritadi ketawa mulu, kan ngga ada yang lucu Ag”

“Ngga, gue ngga apa-apa kok” balas Agni tapi ia masih saja tersenyum, mengingat reaksi berlebihan Gabriel kemarin. “Eh iya Vi, lo beneran suka sama Alvin ya?” Agni mengalihkan pembicaraan, Sivia yang ditanya mendadak langsung gelagapan dan wajahnya yang putih itu berubah warna lagi.

“Hah, eh… siapa bilang? Gu… gue ngga suka sama Alvin kok” elak Sivia langsung tertunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang sudah berubah warna itu.

“Ngga suka tapi cinta, iya kan???” goda Agni mencolek dagu Sivia, sedangkan Sivia? mukanya makin merah membuat Agni tertawa ngakak “Lucu lo Vi, ampe segitunya” sambung Agni, Sivia manyun. Agni masih sibuk menggoda Sivia, sampai akhirnya…

“Bisa ngga sih lo berhenti ganggu hidup gue, gue MUAK liat lo” terdengar suara bentakan dari arah lapangan, posisi kantin yang berdekatan dengan lapangan membuat semua penghuni kantin bisa mendengar dan otomatis langsung berlarian kearah lapangan, melihat apa yang terjadi.

“Gue ngga akan berhenti” terdengar suara yang menjawab bentakkan pertama, suaranya terdengar bergetar.

Agni dan Sivia saling pandang, kemudian mengikuti para murid yang sudah terlebih dahulu memenuhi lapangan. Agni dan Sivia menyeruak masuk, mencoba lebih dekat lagi kearah lapangan. Agni terbelalak, ia melihat Alvin didalam cengkeraman Rio, terlihat sekali emosi Rio yang sudah tidak terbendung lagi. Wajahnya memerah menahan amarah, begitupun dengan Alvin, tapi wajah Alvin bukan memerah karena amarah tapi karena lehernya yang dicengkeram Rio terlalu keras. Tangan kanan Rio yang bebas terkepal kuat, uratnya terlihat membuat siswa yang melihatnya bergidik ngeri. Dalam kurun waktu 3 tahun ini mereka sudah biasa melihat pertengkaran Rio dan Alvin tapi sayangnya tidak ada yang tau. Tidak ada yang tau, kecuali mereka berdua. Awalnya mereka mengacuhkan pertengkaran Rio dan Alvin, tapi jika dilihat ekspresi mereka berdua, masalah yang mereka hadapi bukan sekedar masalah sepele tapi benar-benar masalah berat sampai membuat Rio seakan muak dengan sosok Alvin.

“STOP” semua kontan menoleh ke sumber suara, terlihat Agni berjalan mendekat kearah dua orang itu. Agni berdiri disamping Rio dan Alvin, menatap mereka bergantian. Semua murid yang melihat itu menahan napas, mau apa anak baru itu?, mungkin begitu pikiran mereka ketika melihat Agni berani maju mendekati arena pertarungan. “Lo apa-apa sih hah!, kenapa lo ngekek Alvin kaya’ gini” ujar Agni melepas cengkeraman Rio, tidak terima sahabatnya disakiti ‘monster’ ini.

“Ngga ada urusannya sama lo” desis Rio menatap Agni tajam, Agni sempat bergidik ngeri melihat sorot mata itu, sorot mata setajam elang tapi sayangnya didalam sorot mata itu tersimpan begitu banyak kemarahan, Agni bisa merasakannya. Sorot mata Rio benar-benar membuatnya terpaku, ada apa dengan sorot mata itu? Sorot mata yang terlihat kemarahan yang teramat tapi juga kesedihan disaat bersamaan. “Bilang sama temen lo itu, JANGAN GANGGU GUE” peringat Rio tepat didepan muka Agni dan melenggang begitu saja meninggalkan lapangan yang masih dipenuhi para siswa. Agni sendiri masih terpaku, sorot mata itu? Mengapa begitu menyakitkan?, apa yang sebenarnya yang ia rasakan?. Alvin hanya menunduk lemah, menghela napas dan memejamkan matanya sejenak.

“Udahlah Ag, balik yuk” ujar Alvin lemah sambil menepuk perlahan bahu Agni tapi ternyata tepukan Alvin pada bahu Agni membuat Agni tersentak kaget dan tersadar dari lamunannya.

“Lo ngga apa-apa kan Vin?” tanya Agni, khawatir dengan keadaan sahabatnya ini. Wajah Alvin yang tadi memerah sekarang malah berubah pucat. Alvin menggeleng lemah.

“Gue ngga apa-apa kok. Masuk yuk, ngga enak diliatin orang” ajak Alvin menarik tangan Agni lembut. Belum terlalu jauh, Agni kembali menoleh kearah lapangan, menatap ke tempat pertengkaran tadi, Agni masih mengingat bagaimana sorot mata Rio itu. Sorot mata yang… ah sudahlah, mungkin itu hanya perasaannya saja. Tapi… mengapa sorot mata itu susah untuk dilupakan? Seperti ingin mengikat Agni didalamnya, walaupun sorot mata itu terlihat pedih tapi Agni merasa bahwa sorot mata itu sebenarnya mengartikan bagaimana kondisi keadaan sosok seorang Mario Stevano Aditya Haling ? terlepas dari sifatnya yang dingin, angkuh, cuek dan tidak peduli sekitar. Agni sendiri yang merasakan dibingungkan oleh hal itu.

@_@

Brak….!!!
Terdengar suara bantingan pintu, sang penghuni mendengus kesal. Mengapa ini semua bisa terjadi? Mengapa ia bisa kelepasan? Kelepasan membalas tatapan gadis itu dengan sorot mata yang selama ini disimpannya? Ia yakin, gadis itu pasti menyadari sesuatu dari sorot matanya barusan. Ia menyesal, mengapa harus gadis itu? Mengapa sorot mata itu keluar ketika ia bertatapan dengan gadis itu. Shit, batinnya. Rokok, itu yang menjadi pelampiasannya saat ini. Ia berjalan kearah balkon kamarnya, disana ia menghidupkan rokok yang dipegangnya dan mulai menikmatinya. Beberapa kali ia menghisap dan menghembuskannya kembali, sekitar 3 batang rokok yang menjadi pelampiasaannya saat itu. Ia berhenti menikmati rokoknya, sekarang ia malah sibuk menatap kamarnya. Kamar berwarna gelap dengan graffiti silver disalah satu sudut kamar, menggambarkan sosoknya yang keras dan pembangkang. Pandangannya kini beralih ke meja belajarnya, ada beberapa majalah otomotif dan foto. Foto seseorang yang membuatnya menjadi seperti ini, foto seseorang yang berarti baginya, yang disayanginya. Ia menghela napas perlahan, beralih menatap lemari pakaiannya, dibukanya lemari itu dan ia mengambil sesuatu. Barang yang disembunyikannya secara diam-diam, barang yang didapatnya dari teman hang-outnya, barang yang bisa membuatnya melupakan masalahnya saat ini. Ia menggeleng perlahan, terlalu bodoh jika menggunakannya sekarang. Dikembalikannya barang itu ditempat semula, hanya dirinya yang tau. Ia menghempaskan dirinya ke bed yang berada dikamarnya, mengurut pelipisnya yang terasa sedikit sakit. Sebenarnya ia sudah berusaha untuk melupakan kejadian itu, tapi entah mengapa jika ia melihat wajah pemuda bermata sipit itu ia kembali sakit, kenangan itu kembali menyeruak, memaksa masuk dalam ingatannya. Ia lelah, terlebih lagi ia lelah dengan kehidupannya. Ray, hanya Ray yang membuatnya sedikit bersemangat menjalani hidup, ia tidak tau bagaimana jika tidak ada Ray dikehidupannya yang tidak jelas ‘warna’nya ini. Akan berubah putih atau malah semakin gelap?.

@_@

Dibelahan bumi yang lain, Agni terlihat memikirkan sesuatu. sorot mata Rio. Agni tidak bisa menghilangkan sorot mata itu dari ingatannya. Seperti sudah tertempel dengan lem super, ia sama sekali tidak ingin lepas. Agni sendiri bingung, mengapa ia malah memikirkan ‘monster’ itu, tapi sungguh, sorot matanya itu menyiratkan sesuatu yang menyakitkan, lebih menyakitkan dari yang Agni kira. Dalam dan tajam, membuat Agni terpaku, sorot mata itu seolah memberitaunya sesuatu dan mengundangnya, masuk ke dalam, menguncinya dan tidak akan melepasnya begitu saja. Agni mendesah, ia sedikit menyesal mengapa ia melihat sorot mata ‘lain’ dari Rio tadi. Agni mengacak rambut sebahunya, mendengus pelas dan membaringkan dirinya. Mencoba menenangkan diri dengan pergi ke alam mimpi.

@_@

Seperti sudah ditakdirkan, Alvin juga terlihat sedang memikirkan sesuatu. Tanpa sengaja Alvin melihat sorot mata Rio ketika memandangi Agni tadi siang, sama halnya dengan Agni, Alvin pun tersentak melihat sorot mata itu, apakah sebegitu besar kesalahannya sampai-sampai sorot mata Rio berubah menjadi menyedihkan seperti itu?, batinnya galau. Jujur saja, hampir segala cara Alvin lakukan tapi sepertinya itu tidak berarti bagi Rio. Baru pertama kalinya Alvin melihat sorot mata Rio yang seperti itu, menyedihkan dan miris. Alvin semakin tak menentu, bingung, apa lagi yang harus diperbuatnya. Haruskah Alvin meminta bantuan seseorang? Dengan cepat ia menggeleng, tidak, ini masalahnya dan harus diselesaikannya sendiri. Tapi sisi lain hati Alvin mengatakan bahwa ia membutuhkan seseorang untuk menjadi perantara, Alvin semakin bingung, mana yang harus didengarnya? Berusaha sendiri atau meminta bantuan seseorang?. Sedetik kemudian Alvin sudah mengambil keputusan. Semoga ini yang terbaik, batinnya.

@_@

“Ini semua gara-gara bang Iyel nih, gue jadi ikutan telat. Awas aja tu orang, gue jadiin sambel baru tau rasa lo” gerutu Agni sambil membersihkan halaman sekolah. Yup, Agni dihukum karena datang terlambat, tidak seperti biasanya Agni dan Gabriel kompakan bangun siang, sebenarnya yang pantas disebut kesiangan itu adalah Gabriel karena Agni memang biasa bangun siang *pissAgZ, biasanya Gabriel bangun lebih dulu dan bertugas membangunkan adiknya tapi karena semalam ia begadang nonton bola jadinya ya dia telat dan alhasil Agni juga telat bangun gara-gara Gabriel telat membangunkannya.

“Heh, cewek stres !!! bisa diem ngga sih lo” terdengar suara seseorang, Agni melihat sekelilingnya. Kosong, tidak ada siapapun. Agni jadi bergidik ngeri, sekarang ia sedang berada di halaman belakang sekolah, melanjutkan tugas tambahannya membersihkan halaman kosong itu.

“Si… siapa lo?” tanya Agni, terdengar dari suaranya kalau ia sedang ketakutan, suaranya bergetar.

“Heh !!!” hup, seseorang memegang pundak Agni dari belakang, Agni tersentak, membeku ditempat dan seketika badannya bergetar, sapu yang tadi berada digenggamannya terlepas. Agni memejamkan matanya, mencoba berdoa dalam hati. Ya Allah, lindungilah hamba-Mu ini, doa Agni. “Lo bisa diem ngga sih, dari tadi ngoceh mulu” sambung ‘hantu’ itu, Agni terbelalak, suara ini. Agni berbalik, mencoba meyakinkan pendengarannya.

“Huaaaammmmpppptttt” teriak Agni, reflek ‘hantu’ itu menutup mulut Agni, mencoba menghentikan teriakannya, Agni terbelalak. ‘Monster’ ini lagi, batinnya kesal.

“Aakkkhhhhh” teriak Rio -‘hantu’ tadi-, melepas dekapannya dari mulut Agni, melihat keadaan tangannya yang sudah memerah akibat gigitan Agni, terlihat bekas gigitan disana. “Heh, gila ya lo, sakit woy” adu Rio meniupi tangannya yang terkena gigitan Agni, mencoba sedikit meredakan rasa sakitnya, Agni mencibir.

“Cih, gitu doang sakit”gerutu Agni, menatap Rio yang sibuk dengan tangannya. “Lagian, salah lo juga pake nakutin gue. Mana pake bekep-bekep segala lagi” elak Agni masih menatap Rio, emang beneran sakit ya?, batinnya saat itu. “Yaudah sini gue obatin” Agni langsung menarik rio menuju UKS sekolah.

Sepi,  ruang serba itu seperti tak mempunyai kehidupan(?). Ruangan itu terlihat ramai hanya pada hari senin, pada saat upacara dilaksanakan. Para siswa lebih memilih –pura-pura- sakit daripada melihat bendera merah-putih berkibar, sekedar menghargai dan mengenang bagaimana perjuangan para pahlawan melawan penjajah hanya untuk mengibarkan bendera tersebut. Sangat disayangkan, dizaman sekarang pada anak muda lebih memilih hang out di mall-mall atau café daripada menginjakkan kakinya ke museum atau tempat bersejarah lainnya yang tidak kalah menariknya dari mall-mall atau café-café malah disana kita juga bisa membuat menambah wawasan. Rio duduk disebuah kursi yang berada di UKS, sedangkan Agni? Ia berlari keluar membeli es, untuk mengompres luka Rio itu. Dengan sabar dan telaten Agni mengobatinya. Hening, hanya terdengar desahan napas dari mereka berdua. Ngga enak banget diem-dieman gini, batin mereka tanpa mereka sadari kompak.

“Heh..!!” ucap mereka bersamaan, tersentak. Kenapa bisa bareng, batin mereka-lagi-.

“Lo duluan deh” ujar Rio, mengalihkan pandangannya dari Agni.

“Ngga, lo duluan aja” tolak Agni, sambil membersihkan sisa ia mengobati Rio barusan. Rio berdecak lalu menghela napas perlahan, sedikit kesal dengan cewek didepannya ini.

“Ck, huft. Makasih” akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulut Rio, sebenarnya Rio agak susah mengucapkan kata itu. Terima kasih, entah sudah berapa lama Rio tidak mengucapkannya.

“Urwell” balas Agni tersenyum, untuk pertama kalinya secara langsung di depan ‘monster’ ini.

Rio segera keluar UKS, tanpa mengatakan apa-apa lagi. Entah mengapa keadaan tadi membuatnya jengah, tidak nyaman dan entahlah, keadaan itu tiba-tiba saja mengusiknya. Agni heran, tumben ngga banyak omong?, batinnya heran melihat Rio yang ‘jarang’ ngomong. Biasanya tu anak cerewet banget, batinnya lagi.

@_@

“Yo, ada yang nantangin lo” ucap Sion ketika Rio datang malam itu, dengan modal nekat. Rio akhirnya bisa kabur dari pengawasan Ray, entahlah apa yang akan Ray lakukan jika ia tau Rio keluar malam ini. Rio tidak memikirkan hal itu, yang ia butuhkan malam ini adalah hiburan, otak dan pikirannya sedang penat, apalagi mendengar permintaan papanya. Bukan, itu bukan permintaan melainkan pemaksaan dan perintah, papanya tidak mengenal kata-kata tolong atau sejenisnya yang ia tau hanya memerintah dan barusaha supaya keinginannya tercapai, tanpa memikirkan perasaan orang.

*flashbackON*
“Rio ngga mau pa, Rio ngga mau. Itu bukan Rio pa” tolak Rio, masih berusaha bersabar dengan papanya. Sang papa menatapnya datar tapi tajam (?).

“Lalu kamu mau jadi apa? Pembalap? Penyanyi? Apa Rio, apa? Masa depan kamu tidak akan cerah dengan itu” bentak sang papa, terlihat Joe –sang papa- tidak bisa lagi menahan amarahnya, jika didepan Rio, ia selalu ikut terbawa emosi, pembawaan mereka yang sama membuat mereka tidak bisa menyatu. Sama-sama keras, dan tidak ingin dibantah. Itu persamaan mereka. Ternyata pepatah yang mengatakan ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’ itu benar, terbukti dengan sifat mereka yang sama persis.

“Yang pasti Rio ngga mau ngikutin papa. Ini hidup Rio pa, Rio capek dikekang dan diperintah terus oleh papa” ujar Rio, melangkah meninggalkan Joe yang menatapnya penuh amarah, anak itu benar-benar keras kepala.
*falshbackOFF*

Rio tersadar dari lamunannya, “Siapa?” bals Rio singkat, tanpa menatap Sion disampingnya. Sion mengangkat bahunya.

“Ngga tau gue, dia ngga ngasih tau. Noh dia udah nungguin lo” ujar Sion, menunjuk kearah ‘calon lawan’ Rio malam ini. Rio menatap ‘calon lawan’nya. Menarik, dengan tunggangan ninja hijaunya ia duduk diatas motor. Rio berjalan mendekati ‘calon lawan’nya, Rio agak mengernyit. Ia merasa mengenali orang ini, tapi dimana? Dan siapa?, cara dia duduk diatas ninja hijaunya. Sama persis. Rio menggeleng, tidak, itu tidak mungkin. Dia tidak mungkin ada disini, batin Rio semakin dekat dengan ‘calon lawan’nya.

@_@

Hujan. Seperti suasana hatinya saat ini, ia menatap ke luar jendela kamarnya. Ia menghela napas, sepertinya cuaca sedang berpihak padanya, seolah ikut bersedih dengan apa yang ia rasakan saat ini. Seharusnya hari ini menjadi hari bersejarah untuknya, tapi itu tidak mungkin. Ia menghela napas, panjang dan berat. Andai kejadian itu tidak pernah terjadi, mungkin saat ini ia bisa tersenyum dan bersenang-senang, karena hari ini adalah anniversary-nya bersama sang kekasih. Sudahlah, itu semua hanya masa lalu, masa lalunya yang kelam, masa lalu yang membuatnya kehilangan semuanya, sahabat, cinta dan hampir juga kehidupannya sendiri. Sungguh bodoh jika kembali mengingat bagaimana ia berusaha ‘menyusul’ sang kekasih ke alamnya, ia rela menyakiti dirinya, membuat dirinya terluka dan menderita, membuat orang disekitarnya bersedih dengan apa yang dilakukannya. Tapi sekarang ia sadar, itu semua tidak ada artinya. Tuhan pun membenci perbuatannya jika sampai ia benar-benar sampai menghilangkan nyawanya, dan hal itu juga tidak akan membuat sang kekasih bahagia.

@_@

Ada apa dengan dirinya? Mengapa bayangan orang itu menghantuinya?, ia sudah melupakannya, tapi tetap saja tidak bisa hilang. Ingin rasanya ia mengeluarkan otaknya dan mencucinya agar ia bisa melupakan semuanya, tapi itu tidak mungkin. Kenapa sangat sulit dilupakan? Itu masa lalu, Just a past !! A bad past !!. kenapa saat itu ia harus menerimanya? Kenapa barang itu harus menjadi penghubungnya? Ia tidak menyangka bahwa orang itu mengejarnya sampai sekarang, apa sebenarnya yang diinginkan orang itu? Uangnya? Hartanya? Atau bahkan nyawanya?. Sungguh, ia menyesal. Mengapa harus menerimanya? Jika ia tau bahwa barang itu yang menjadi alasan, saat itu ia langsung menolaknya mentah-mentah. Betapa bodoh dirinya, mengapa saat itu ia tidak berpikir sejauh itu, padahal image orang itu harusnya bisa membuatnya berpikir jauh. Ah sudahlah, sekarang bukan waktunya menyesal, lebih baik menyelesaikannya daripada menghindar. Tapi apa orang itu mau? Mau menerima penolakan yang seharusnya ia lakukan dari dulu. Bagaimanapun ia harus mencari jalan keluarnya, ia tidak mau terjerumus terlalu jauh, batinnya saat itu.

@_@

Matahari terlihat bersemangat sekali mengeluarkan sinarnya, berbeda dengan kemarin. Gelap, jangankan mengeluarkan sinarnya, munculpun matahari tidak. Senyum tidak lepas dari gadis ini, sudah dari jauh hari ia ingin jalan-jalan. Semenjak kembali kesini, ia sama sekali belum pernah menginjakkan kakinya ke tempat hiburan. Ia sudah membuat jadwal kunjungan ke berbagai tempat, dari museum, kebun binatang sampai taman hiburan. Berlebihan. Memang, tapi itu bisa membuat senyum manisnya keluar, seharian senyum itu tidak luntur dari wajahnya yang sudah terlahir manis. Ia tidak perlu gaun mahal, dandanan bak putri kerajaan, barang bermerk atau apapun sejenisnya untuk membuatnya terlihat menarik, malah dengan gayanya yang cenderung tomboy, simple dan cuek sama sekali tidak menghilangkan kesan manisnya, itu membuatnya berbeda. Just be herself !!!, dia tidak peduli orang mengatakan apa, yang penting ia nyaman dan tidak mengganggu orang lain, itu sudah cukup.

Gadis itu terus menarik-narik kakaknya yang terlihat sudah lelah, tapi sepertinya itu tidak berpengaruh untuknya. Malah ia semakin bersemangat untuk mencoba berbagai macam permainan disana, mulai dari biasa sampai yang luar biasa. Kakaknya sudah terlihat sangat kelelahan, ngidam apa sih mama waktu hamil lo, batinnya kesal melihat adiknya yang sama sekali tidak merasa lelah sedikitpun. Gadis ini masih sibuk berceloteh, permainan apa lagi yang akan dicobanya. Sang kakak yang mendengarnya hanya melongo, sepertinya adiknya ini berniat membunuhnya secara perlahan. Cukup, ia sudah tidak sanggup.

“Stop de', istirahat dulu kek. Capek gue” ujar sang kakak –Gabriel- pada gadis itu –Agni-. Ia terduduk disalah satu bangku di taman hiburan itu, tidak mempedulikan ekspresi adiknya yang sudah berubah cemberut dan manyun.

“Yah, bang. Ntar aja deh istirahatnya, gue masih mau main” rengek Agni, ikut duduk disebelah abangnya sambil sesekali menarik-narik tangan Gabriel.

“Please de', gue udah ngga sanggup. Ntar deh ya, istirahat dulu” bujuk Gabriel dengan tampang melasnya, Agni melihat itu jadi tidak tega sendiri. Ia menghela napasnya.

“Yaudah deh, kita istirahat dulu” ujar Agni akhirnya, ekspresi Gabriel berubah cerah. “Tapi ntar lanjut lagi lho” sambung Agni, Gabriel mengangguk semangat sambil tersenyum dan mengacak poni Agni yang sudah mulai memanjang itu. Akhirnya, batin Gabriel senang.

@_@

Terdengar suara tangisan, Agni melihat sekelilingnya. Mencari darimana sumber suara tangisan itu, Agni bangkit dari duduknya, mencoba mencari sumber suara. Agni melihat kearah kanan, dekat kios yang menjual berbagai macam jenis ek krim, ia mendekat, suara itu makin jelas. Agni semakin yakin kalau suara tangisan itu berasal dari sana, perlahan Agni mulai mendekat. Itu dia !!!, terlihat seorang anak laki-laki berumuran sekitar 3 sampai 4 tahun, memakai baju bergambar SpongeBob didepannya, wajahnya terlihat imut dengan rambutnya yang gondrong, anak itu terduduk sambil menunduk, memeluk kakinya dan menenggelamkan kepalanya disana. Agni berjongkok didepan anak itu, tangan Agni menyentuh kepala anak itu lembut, anak itu mendongak, menatap orang dihadapannya. Ia masih terisak, sedikit takut dengan kedatangan Agni yang tiba-tiba. Agni tersenyum manis, mencoba meyakinkan anak itu, perlahan namun pasti anak itu membalas senyuman Agni sambil sesekali mengusap airmatanya.

“Kamu kenapa nangis?” tanya Agni lembut, tangannya masih mengelus kepala anak itu.

“Kak Lio ilang” jawab anak itu, kembali mengeluarkan airmatanya. Agni sedikit bingung. Lio? Siapa Lio? Apa dia orang yang bersama anak ini?, batin Agni.

“Cup.. cup.. udah ya kamu jangan nangis. Lio itu siapa?” bujuk Agni, anak itu mengernyit dahinya, heran.

“Bukan Lio kak, tapi Lio (Rio), pake rl, bukan l” anak itu mencoba memperjelas maksudnya, Agni heran. Emang apa bedanya? Batin Agni bingung, menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal.

“Iya Lio. Lio itu siapa kamu?” tanya Agni lagi, anak itu mendengus kesal. Sepertinya orang didepannya ini tidak mengerti maksudnya.

“RL-I-O, Lio(Rio) kak, bukan Lio” anak itu bersikukuh, mencoba sedikit menggetarkan lidahnya, memperjelas apa yang dimaksudnya. Agni cukup lama berpikir, mencoba memahami maksud anak didepannya ini. Jangan-jangan !!!.

“Maksud kamu Rio?” tanya Agni meyakinkan, anak itu tersenyum lebar. Mata bonekanya berbinar lucu, Agni melihatnya gemas. Tapi tunggu, Rio? Apa Rio si ‘monster’ yang dimaksud anak ini, batin Agni bertanya. Agni menggelengkan kepala, tidak !!, itu tidak mungkin. Yang namanya Rio itu banyak, batinnya lagi. Anak itu menatap Agni bingung, kenapa geleng-geleng, batinnya bertanya.

“Kakak, kenapa geleng-geleng. Pusing ya?” tanya anak itu, terpancar raut cemas diwajah imutnya. Agni tersenyum lalu menggeleng.

“Ngga kok, kakak ngga apa-apa. Eh iya, nama kamu siapa? Kenalin nama kakak Agni” Agni mengulurkan tangannya, anak itu menyambutnya sambil tersenyum lebar.

“Aku Lay” balas anak itu tersenyum. Lay?, kok kaya’ nama snack ya?, batinnya bingung. Eh jangan-jangan bukan Lay tapi…

“Maksud kamu Ray?” Agni meyakinkan, anak itu –Ray- mengangguk semangat.

Agni dan Ray larut dalam pembicaraan mereka, baru beberapa menit yang lalu mereka kenal tapi entah mengapa saling membuat keduanya merasa nyaman. Sesekali terdengar celotehan dari bibir mungil Ray, Agni yang gemas hanya bisa mencubit pipi Ray perlahan, kalau sudah seperti itu Ray hanya bisa manyun tapi sedetik kemudian tertawa. Agni lupa dengan Gabriel yang masih beristirahat, sedangkan Gabriel sendiri masih sibuk mengistirahatkan dirinya, tanpa menyadari bahwa adiknya itu sudah ‘hilang’.

“Ray….!!!” Terdengar suara panggilan, Ray yang merasa namanya dipanggil langsung menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari tau siapa yang memanggilnya. “Ray….!!!” Panggilan itu terdengar lagi, Ray menoleh kearah kiri. Terlihat seorang cowok celingak-celinguk, sepertinya dia yang memanggil Ray, Ray mengenalinya. Ray turun dari bangku yang didudukinya bersama Agni, Agni menatap Ray bingung.

“Ray?, mau kemana?” tanya Agni, Ray menatapnya, kemudian menunjuk kearah orang yang memanggilnya.

“Itu kak Lio, kak” tunjuk Ray kembali menatap pemuda itu, Agni tersenyum kemudian beralih menatap orang yang memanggil Ray. Matanya terbelalak lebar.

“Ray” ucap cowok itu, berlari kearah Ray lalu menggendongnya, Ray memeluk leher orang itu erat. Orang itu mengalihkan pandangannya pada cewek yang berada disamping Ray –Agni-, seketika matanya terbelalak lebar, tidak percaya.

“LO !!!” ucap mereka bersamaan, setengah berteriak.




To Be Continued... ^_^

2 komentar:

  1. saya datang lagiiii...hahaha
    alvia? alni? siviel? atau rioni sih? bingung saya..
    hmm..makin seru! ada apakah gerangan antara alvin dan rio di masa lalu?
    weitss..jangan-jangan si lay (ray) bakal nyomblangin Lio (rio) sama agni lagi..
    iihhhh..lucuuu..(?)
    teruss..teruss..
    kayaknya sivia suka sama alvin deh..
    lanjuuttt lisaaa..
    buruaaaannn yeee...
    saya tunggu dengan tidak sabar...hahaha

    BalasHapus
  2. hhai...
    sankyu kka, udh mau baca --'
    liat aja ntar deh, kka nangkepny ini apaan??
    apa hayooo? *plak

    saksikan kelanjutannya di blog saya *pletakk

    BalasHapus